X: "Gratifikasi itu hadiah, kan?”
Y: “Iya bener hadiah.”
X: “Terus salahnya di mana kalo kita sebagai kuli pemerintah terima gratifikasi dari pelanggan?”
Y: “Waduh gimana ya jelaskannya? Baca dan pelajari saja deh UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jangan lupa juga KUHP.”
X: “Ribet ah, susah mengerti kalau baca aturan-aturan seperti itu.”
Y: “Waduh sama saya juga tidak mengerti, jadi gimana?”
X: “Jelaskan saja lah yang gampang.”
Y: “ OK OK.”
Langsung saja ke inti. Saat kita berikan jasa pelayanan kepada pelanggan, ada kalanya pelanggan berterima kasih lewat ucapan plus kadang memberi uang atau sesuatu lainnya. Kita beri layanan terbaik, kita tidak minta uang atau lainnya, pelanggan beri kita dengan ikhlas (terlihat dan katanya), salahnya di mana? Kan itu terjadi setelah pelayanan diberikan, tidak merubah kebijakan kita apapun.
Gini gini, misal pelanggan A beri kita uang setelah kita selesai beri layanan terbaik kita. Memang tidak merubah kebijakan kita karena sudah kita lakukan. Tapi setidaknya dalam hati kita berucap, “Wah ini pelanggan A baik sekali dan tahu berterima kasih. Sip lah.” Kita sudah simpati kepada pelanggan A. Lalu coba pikirkan bila pelanggan A di lain waktu ada kebutuhan layanan kita lagi, bakal ada potensi kita akan mendahulukan atau beri pelayanan yang lebih baik lagi dibanding sebelumnya atau bahkan dibanding kepada pelanggan-pelanggan lainnya yang tidak pernah beri sesuatu kepada kita sebelum-sebelumnya. Gak fair kan? Inilah atau itulah masalahnya. Hadiah tersebut bisa menjadi potensi merusak fairness layanan kita dan bisa jadi ke depannya bisa merubah kebijakan kita terhadap pelanggan A. Sebelumnya dokumen pelanggan A tidak ada salah, tapi saat dia ada salah, boleh jadi kita akan memberi kebijakan yang berlawanan dengan pedoman tugas fungsi kita bekerja.
Y: “Hallo, gimana? Tidur ya?”