Setiap terjadi amukan alam (tsunami di mentawai, letupan gunung merapi) atau terjadinya kerusakan alam(longsor di Wasior) dan lingkungan (banjir Jakarta,longsor kebumen,lengsor depok) yang dihuni olehsejumlah warga , apakah itu di kota maupun di kampong atau desa semua berakhir kesemerawutan, ketidak disiplinan, ketidak pedulian, ketidak mengertian, atau ketidak tahuan, Untuk selanjutnya menjalani hidup bermasyarakat apalagi bernegara, yah memikirkan diri sendiri saja sudah susah ke ujung-ujung hati yang paling dalam, apalagi memikirkan masyarakt sekeliling dan lingkungan aku ini berada, dan tidak terpikir aku Negara Indonesia baik atau buruk. Jangan dibandingkan dengan Malaysia, singapura mungkin sama kali,ya ? sama Srilanka.
Sumber : google.com/image
Agama selalu mengajarkan dan mengarahkan pada kebaikan, niscaya semua itu benar dan baik adanya bagi aku dan orang lain, tapi yang aku lihat dan jalani dalam kehidupan bersosialisai dengan sesama atau kehidupan bernegara, akhirnya yang terbentang panjang adalah labirin kehidupan ini dalam duka,nestapa,kelaparan, merana, ketidak teraturan, kegaduhan, kemiskinan, ketidakberdayaan,ketidak adilan, wacana sana sini, masa bodohnya hukum – korupsi sudah menjadi kanker masyarakat, Negara entah dimana, anomali ke-agamanan mayoritas, mengelegak dan beringas nya darah mayoritas, tersinggung langsung bantai dan saling bantai,… Ah , apa yang aku bisa pikir, Inikah kebebalan yang aku buat sendiri, dan coba aku berhitung secara sederhana, dari satu aku, kemudian dua aku, sampai jadi warga aku, membentuk gugusan aku,kumpulan aku,organisasikemasyarakatan aku ,organisasi politik, dan walah sampai ratusan juta elemen aku.
sumber :Kompas .com
Kenapa Ya? Akumau tidak mau menjadi bebal. Setiap hentakan nafas dan aksi aku selalu terbentur dengan kenyamanan dalam situasi aku tidak berdaya, kok , malah nyaman. Nah, seperti dari satu,dua,kumpulan,dan populi yang beratus-ratus juta apakah sama di dorongpendulum yang sama, disatukan, dikolaborasi menjadi stigma kebebalan bersama , hingga bangsa aku ini menjadi bebal. Ah, kan aku bisa ber tafakur, berzikir, bersedekoh, beribadah, berjemaat, dan berjemaah dalam hitungan detik ke detik, hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, abad kea bad, ..yah dalam lintasan sejarah waktu , tapi ada satu titik suram dalam kekelaman ,akhirat dan dunia baka.
Sumber : google.com/image
Satu kepastian yaitu ketidakpastian itu sendiri, Bagaimana menjadi bebal. Sudahlah, tidak usah mengetahui aku menjadi bebal dalam galaksi kebebalan itu. Ada kepastian bagimana memikirkan, walah masih bisa bepikir si bebal, merencanakan-bisa juga berencana jadi wacana – bikin public opini segala, konferensi,mukhtamar,seminar, dan melaksanakan sampai mengevaluasi segala-teknik tipu sana tipu sini, pakai kedok agama selantang-lantangnya- kan dengan agama orang atau pihak manapun, tidak ada yang berani, paling-paling himbauan itu pun dengan nyali berani mati, uh, untuk bertindak ,siapa peduli?.
Nah , jangan melenceng ,aku yang bebal , semua dogma sudah tertuang jelas dan terpatri dalam benak, kolbu mu, Bencana Alam, kerusakan Alam, Ketidak pedulian populi aku, semua itu berujung dan berakhir menjadikan aku yang bebal. Marilah aku beristiqosah dan bertafakur, pemberian bencana alam,kerusakan lingkungan, kerusakan moral, “sampai negara kau dimana “iniditerima dengan hati yang ikhlas, dan Bebalah Aku! Dari semua kebebalan ini aku mau menjadikan bencana ini menjadi wacana wisata alam yang mengharukan dimana si pereguk kepandiran tidak menghalangi aku si bebal yang berwacana. Janganlah ke pura-pura berselimutkan kearifan dalam membantu sesama , mungkin ya kaga mungkin tidak ada berita “dalam keterpurukan ,masih ada malaikat pencuri”dalam kesedihan panjang tidak ada kesukaan sejenak dari aku yang bebal; semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI