Mohon tunggu...
Darma Andreas Ngilawajan
Darma Andreas Ngilawajan Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar - Meneliti - Mengabdi

Menyukai matematika, sains, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Asas Proporsional Dalam Mengkritik

18 April 2024   19:35 Diperbarui: 18 April 2024   19:46 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pasca kesaksian Romo Magnis Suseno yang hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi, beragam kritikan secara massive dialamatkan kepada beliau. Romo Magnis dihadirkan oleh pihak penuntut dalam kapasitas beliau sebagai ahli filsafat etika (etikus).

Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut paham demokrasi, sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia. Salah satu bentuk hak asasi manusia adalah hak menyampaikan pendapat. Sebagai wujud jaminan terhadap hak berpendapat, maka negara melegitimasi hak tersebut dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 3. 

Salah satu bentuk konkret dari kebebasan berpendapat adalah menyampaikan kritik secara lisan maupun tertulis dengan memanfaatkan berbagai platform. Di era revolusi industri 4.0 yang merupakan era digital, sosial media adalah sarana penyampaian kritik yang menjadi pilihan utama masyarakat (warganet/netizen) karena jangkauannya yang luas dan diakses secara global. Pasca sidang MK yang menghadirkan Romo Magnis, kritikan terhadap Romo magnis dalam bentuk cibiran dan nyinyiran membanjiri sosial media semacam facebook, instagram, X, thread, hingga youtube. Bahkan media berita online turut mengulas kritikan-kritikan tersebut, terutama jika yang mengkritik adalah seorang publik figure, karena dengan konten berita demikian akan meningkatkan rating media tersebut karena meningkatnya jumlah pengunjung.

Mencermati narasi-narasi dalam hujan kritikan yang ditujukkan pada Romo Magnis, yang menarik adalah komentar yang sangat sering muncul, yaitu "Romo Magnis asal menuduh tanpa didukung bukti yang valid."

Suatu kritikan berbobot jika kritikan tersebut proporsional, yaitu kritikan yang mempertimbangkan SASARAN KRITIKAN, KONTEN KRITIKAN, dan KAPASITAS PIHAK PENGKRITIK. Sasaran kritikan terkait dengan background keilmuan orang yang dikritik dan kapasitas atau jabatannya terkait ide utama kritikan. Konten kritikan asosiasinya pada isi kritikan dengan kapasitas keilmuan sasaran kritikan. Semisal background pengkritik sebagai ahli bidang A kemudian isi kritikannya lebih pada kajian ilmu A, padahal sasaran yg dikritik adalah ahli ilmu B. Jika berbeda bidang ilmu, harusnya konten kritikan sifatnya irisan dari disiplin ilmu yang berbeda sehingga ada titik temu. Kapasitas pengkritik lebih pada pertimbangan dampak ilmiah dan sosial dari kritikan yang dibuat. Unsur edukasi kepada masyarakat harus diutamakan. Tentu lucu jika seorang astronom mengkritik kepakaran seorang sosiolog terkait suatu fenomena sosial yang muncul di masyarakat.

Merujuk pada narasi "Romo Magnis sekedar menuduh tanpa didasari bukti yang valid", mungkin beberapa point berikut bisa dijadikan bahan renungan:

1). Romo Magnis dihadirkan sebagai saksi ahli filsafat etika (etikus) untuk menyampaikan pandangannya mengenai dugaan adanya pelanggaran etika dalam Pilpres, yaitu pada masa sebelum pelaksanaan, saat hari-H, dan pasca pemungutan suara. Jadi sudah sesuai antara kapasitas keilmuan Romo Magnis dan isu Etika yang dipersoalkan dalam sidang sengketa Pilpres tersebut. 

2). Jika dicermati video rekaman persidangan, setiap kali menyampaikan pendapat, Romo Magnis selalu menggunakan kata-kata: APABILA, JIKA, BILA, dan sebagainya. Penggunaan kata-kata tersebut jika dikaitkan dengan literasi bahasa, maka memberi indikasi kuat bahwa Romo Magnis SAMA SEKALI TIDAK MENUDUH tapi sekedar menyampaikan pandangan etika yang sifatnya teoritis sesuai kapasitas beliau sebagai seorang etikus. 

3). Terkait narasi Romo Magnis berbicara tanpa didukung bukti yang valid, mungkin perlu mengetahui bahwa pengetahuan dibedakan atas pengetahuan A PRIORA dan pengetahuan A POSTERIORA. Pembuktian kebenaran untuk pengetahuan A PRIORA bersumber pada PEMIKIRAN dan RASA. Filsafat, termasuk didalamnya filsafat etika, merupakan pengetahuan A Priora (Note: cabang-cabang filsafat meliputi metafisika, epistemologi, etika, filsafat politik, filsafat sejarah, dan logika) sehingga tidak membutuhkan data empiris untuk membuktikan kebenaran suatu pendapat atau teori, karena kebenaran terletak pada pemikiran yang rasional dan rasa yang menjunjung tinggi etika dan kemanusiaan. Sebaliknya, pengetahuan A POSTERIORA membutuhkan data empiris untuk pembuktian dalam mencari nilai kebenaran, contohnya ilmu sains, hukum, dan ilmu-ilmu modern. Pernyataan Romo Magnis berbicara tanpa bukti yang valid, jika dilihat dari perspektif filsafat logika, sebenarnya sudah termasuk kesalahan berpikir (Fallacy Logic) yang mungkin saja disebabkan ketidaktahuan tentang filsafat.

Kebebasan mengkritik adalah hal yang baik, tetapi jauh lebih baik jika mengutamakan sifat bijaksana dalam menyampaikan kritik sehingga masyarakat juga ikut tercerahkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun