Mohon tunggu...
Darlis Darwis
Darlis Darwis Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Sekitar Tingkat Kelahiran Total (Total Fertelity Rate)

10 Juli 2024   22:45 Diperbarui: 10 Juli 2024   23:00 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Sekitar Tingkat Kelahiran Total (Total Fertility Rate). Pengaturan tingkat kelahiran total  memiliki kemiripan dengan pengelolaan tensi darah. Tensi darah yang terlalu tinggi memberi indikasi kesehatan buruk. Begitu juga jika tensi darah terlalu rendah. Kedua kondisi tersebut sama-sama membahayakan bagi keselamatan jiwa seseorang. Karenanya, setiap orang harus mampu mengelola tensi darah sesuai dengan kapasitas diri dan usia masing-masing. Dalam mengelola Total Fertility Rate (dibaca TFR) juga dibutuhkan TFR yang ideal.Terlalu tinggi TFR akan berdampak pada pertumbuhan penduduk tidak terkendali. Di lain pihak,TFR terlalu rendah akan menimbulkan pertumbuhan minus. Itulah sebabnya lembaga-lembaga yang berkiprah dalam keilmuan demografi dan kesehatan dunia telah bersepakat bahwa TFR ideal adalah 2,1 untuk menjaga pertumbuhan penduduk stabil. Atau lebih dikenal dengan istilah zero population growth. Saat ini banyak negara masih dengan TFR tinggi. akibatnya pertumbuhan penduduknya sangat tinggi pula. Disisi lain banyak negara sudah dengan TFR rendah yang berakibat pertumbuhan penduduk negaranya minus. Bagi Penduduk di suatu negara dengan TFR rendah di bawah angka ideal tidak berarti bangsa itu hidup nyaman  tentram dan bahagia. 

Semakin banyak penduduk lansianya, sementara itu kelahiran baru kian menipis. Hal demikian telah mendorong tumbuhnya suatu keadaan dimana generasi yang lebih mengkondisikan dan atau mementingkan bentuk tubuh ideal, menghindar dari beban keuangan, beban sosial, dan pertimbangan lainnya. Tidak ingin memiliki anak atau hanya punya satu anak telah menjadi tren bahkan budaya di sejumlah negara, khususnya negara maju. Ironisnya justru sekarang ini negara-negara tersebut sedang berupaya keras mengembangkan program dan kebijakan peningkatan jumlah anak. Singapura memberi insentif plus dan fasilitas lainnya bagi setiap anak yang dilahirkan Cina yang kini telah menghapus kebijakan one child policy sehingga mengalami aging population. 

Jepang yang Laju Pertumbuhan Penduduknya (LPP) sudah minus serta beberapa negara Eropa Timur berusaha keras agar penduduknya tumbuh kembali dengan terkendali.  Bagaimana dengan gambaran "potret" kondisi Indonesia ? Pada periode 2010-2015, TFR Indonesia berada pada angka 2,1 dan 2020-2025 diperkirakan atau diproyeksikan turun menjadi 1,9 dan di 2045 menjadi 1,7. Jika proyeksi tersebut menjadi kenyataan alias benar, maka kondisi kependudukan Indonesia akan mengkhawatirkan dan di praduga akan mengalami serupa Singapura, Cina, Jepang, Korea,Eropa dan beberapa  negara lain saat ini. Bukan suatu hal yang mustahil ketika pada perayaan kemerdekaan Indonesia ke 100 tahun, Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Indonesia mulai mengalami atau menunjukan angka minus. Ini karena kian banyak Pasangan Usia Subur (PUS) tidak ingin punya anak atau hanya ingin punya satu anak. 

Oleh karena itu sebelum langkah kaki kian  terlanjur  semakin jauh, ibarat  "sebelum nasi menjadi bubur", sebaiknya mulai sekarang perlu dipikirkan dan dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan seksama mengelola TFR secara arif dan bijak. Mengelola agar TFR tetap berada di kisaran 2,1-2,4 anak merupakan yang ideal. Jika berada di luar angka "aman" itu, di atas maupun di bawah, maka cita-cita mewujudkan keluarga Indonesia maju semakin menempuh perjalanan berliku. Jika saja TFR Indonesia berada diatas 2,4 sangat dikuatirkan dimungkinkan akan terjadi baby boom kedua bagi Indonesia. Suatu kondisi dimana jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat dengan tajam. Hal yang pernah dialami pada awal awal  tahun 1970 -1980 an atau seperti beberapa negara di belahan benua Afrika saat ini.Secara fenomenal fertilitas Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan-menakjubkan menjadi perhatian dunia Internasional dari 5,6 pada 1970 menjadi 2,6 pada 2002. Namun selama lebih dari satu dekade kemudian fertilitas Indonesia berada dalam kondisi "memprihatinkan" stagnan.

Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia (dibaca (SDKI) 2007 dan 2912 melaporkan TFR tetap di angka 2,6. Kondisi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan banyak pihak bahkan telah menimbulkan kerisauan-keragu-raguan : apa yang terjadi dengan program Keluarga Berencana ?  Beruntung, masih dalam "perlindungan" hasil SDKI tahun  2017 menunjukan hasil yang cukup "menenangkan" dimana TFR kembali turun pada level 2,4 sebagaimana sebelumnya meskipun sebenarnya kalau dicermati, peningkatan angka kelahiran kasar (CPR)  antara 2012 ke 2017 tidak lebih tinggi dengan yang terjadi dari 2002 ke 2012.


Pertanyaan-nya kemudian, sampai berapa rendah TFR Indonesia akan diturunkan di masa depan / masa yang akan datang ? Dengan memperhatikan dan menyimak keadaan dan pengalaman dari sejumlah negara terutama di Eropa dan beberapa negara di benua Asia yang sangat ketat dalam program family planning seperti cina setelah mengalami beberapa dekade TFR nya  <2,0. Indonesia harus banyak membuat pertimbangan dan mengkalkulasi impactnya. Persoalannya adalah dengan TFR berada pada posisi yang rendah akan berimbas pada ketersediaan tenaga kerja. Sangat berdampak terhadap perkembangan kemajuan ekonomi negara. Pengalaman di beberapa negara menunjukan-   dan memperlihatkan betapa sulitnya menaikkan kembali angka TFR meski dengan berbagai kebijakan dan program pemberian insentif.  " Pakem" Kebijakan Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) sangat bijaksana untuk dapat dipedomani dengan mengendalikan TFR tidak turun di bawah 2,0. Tetapi juga tidak naik mencapai angka 2,4 atau lebih.


Dinamika TFR, baik antar wilayah, provinsi maupun antar tahun, adalah situasi yang wajar dengan tetap memperhatikan keseimbangan pertumbuhan penduduk dengan kemampuan memenuhi kebutuhan (demand fulfillment). Terutama di bidang pangan, lingkungan hidup energi, lapangan kerja dan lainnya. Dengan TFR 2,1 anak yang dicapai Indonesia, menjadi  kewajiban tugas  pemerintah untuk  menjaga agar TFR berada pada kisaran 2,0-2,4 anak per wanita usia subur. Angka tersebut akan sangat berdampak pada tingkat laju pertumbuhan yang ideal. Yaitu,  dimana laju pertumbuhan penduduk tidak tinggi juga tidak minus. Atau berada pada laju pertumbuhan penduduk sekitar 1% per tahun atau akan  bertambahnya  1,5 juta jiwa per tahun. Dan itu diperkirakan masih dalam kondisi seimbang dengan kebutuhan pembangunan serta daya dukung lingkungan.


Dari titik-titik itulah sebenarnya asal muasal pengkondisian penyiapan lahirnya generasi yang sehat, kuat dan tangguh di periode 2020-2045. Sejatinya pengkondisian harus dilakukan dengan menyempurnakan kehidupan berkeluarga. Caranya, dengan membangun kehidupan berumah tangga yang berencana. Kapan memulai kehidupan berumah tangga. Bagaimana memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan jasmani rohani bagi anggota keluarga agar mampu hidup layak dan mapan pada zamannya hal tersebut menjadi prasyarat mutlak guna mewujudkan keluarga Indonesia maju .*) Disaripatikan dari buku Era Baru Keluarga Indonesia Maju **(delta-delta)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun