Pada hari Sabtu tanggal 4 Desember 2021, terjadi erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang mengakibatkan masyarakat sekitar panik hingga banyak yang tidak sempat mengevakuasi diri karena asap tebal awan panas dan banjir yang dapat menghancurkan apapun yang dilewatinya.
Seperti yang kita ketahui, masyarakat Indonesia sudah mengalami berbagai jenis bencana alam bahkan dalam waktu yang dekat. Tetapi mayoritas masyarakat masih mengabaikan dan tidak mau mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum bencana terjadi, padahal budaya risiko perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Erupsi merupakan proses alami yang berkaitan dengan proses endogenik dan disebabkan karena ketidakstabilan dapur magma. Sejak November lalu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat adanya peningkatan aktivitas vulkanik berupa gempa erupsi Gunung Semeru. Ahli Vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman juga mengungkapkan bahwa material aliran lahar yang terjadi di Gunung Semeru merupakan akumulasi dari erupsi di hari-hari sebelumnya. Mirzam mengatakan material abu vulkanik menutupi kawah gunung tersebut sehingga membuat Gunung Semeru Erupsi.
- Volume di dapur magmanya sudah penuh
- Ada longsoran di dapur magma yang disebabkan terjadinya pengkristalan magma
- Ada longsoran di atas dapur magma
Mirzam mengungkapkan Gunung Semeru erupsi karena faktor yang ketiga, yaitu adanya longsoran di atas dapur magma. Walaupun hanya ada sedikit material vulkanik yang berada di dalam dapur magma, Gunung Semeru tetap bisa erupsi.
Salah satu upaya mengurangi risiko bencana, mencegah pertambahan jumlah korban, dan meminimalkan kerugian materi adalah menjalankan sistem peringatan dini. Warga yang berada di titik terdekat dari lokasi rawan bencana mengaku tidak mendapatkan peringatan sehingga Suwignyo, ketua DPD Koalisi Kawali Indonesia Lestari Jawa Timur, mulai mempertanyakan keberadaan sistem peringatan dini kebencanaan. Relawan Kawali di Lumajang menyebut tidak mendengar sirene atau bunyi peringatan saat awan panas meluncur di desa sekitar Semeru. Menurutnya, sistem peringatan dini harusnya ada di setiap desa, bukan hanya di sekitar area penambangan pasir.Â
"Berdasarkan foto dan data, kita bisa membandingkan ukuran kubah sebelum dan sesudah erupsi 4 Desember. Kita bisa melihat massa besar volume kubah hilang setelah diguyur hujan lebat hari itu," katanya. Kubah lava dapat menjadi tidak stabil dan runtuh karena beberapa alasan, salah satunya hujan lebat. Peran hujan di sini menimbulkan pertanyaan apakah perubahan iklim dapat menyebabkan lebih seringnya letusan semacam ini.
Puluhan orang hilang dan 46 orang tewas (hingga saat ini) akibat erupsi Gunung Semeru ini. Ribuan bangunan rusak dan banyak yang terkubur di bawah tumpukan abu tebal yang menyelimuti rumah-rumah di seluruh desa. Kekuatan letusan ini lebih besar dari biasanya. Gunung Semeru menyemburkan abu sekitar 15 kilometer ke udara, yang biasanya hanya ratusan meter, dan awan piroklastik mencapai lebih dari 12 kilometer di darat, lebih jauh dari biasanya 5 kilometer. Jutaan orang Indonesia tinggal di dekat kaki gunung berapi, di mana tanahnya sangat subur dan baik untuk bercocok tanam, serta lebih dari 8.000 tinggal dalam jarak 10 km dari Semeru.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Andiani menegaskan bahwa curah hujan tak memberikan pengaruh terhadap erupsi atau aktivitas vulkanik di Gunung Semeru. Meski demikian, ia tetap mengimbau adanya potensi banjir lahar dari Gunung Semeru karena curah hujan yang masih tinggi dalam beberapa waktu ke depan.