Mohon tunggu...
triwidarko saptamto
triwidarko saptamto Mohon Tunggu... -

aku adalah sumber inspiration

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kawal Peraturan Bupati Bantul No 3 Tahun 2012

3 Maret 2013   10:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:24 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya Otonomi daerah maka setiap daerah (Kabupaten) berhak mengelola daerah masing-masing dengan menyesuaikan karakterisktik daerahnya sendiri dengan harapan bahwa pembangunan daerah akan terjadi secara kompetitif yang akan berdampak pada adanya semangat daerah lain untuk melakukan pembangunan yang lebih baik dari sebelumnya.

Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) definisi otonomi daerah adalah sebagai berikut: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah  kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk mendorong kemajuan otonomi daerah agar terselenggara dengan baik maka pada taraf nasional telah dikeluarkan beberapa peraturan diantaranya adalah: Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa dan Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 telah menunjukan bukti adanya keseriusan pemerintah dalam meningkatkan otonomi daerah dengan tujuan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah mampu melahirkan pelayanan publik dan kinerja pemerintah daerah menjadi semakin lebih baik lagi.

Untuk menindaklanjuti beberapa peraturan di atas maka Pemerintah Kabupaten Bantul dalam meningkatkan disiplin, kinerja dan hasil kerja Lurah Desa dan Pamong Desa se-Kabupaten Bantul serta mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat Bantul, maka Pemerintah Kabupaten Bantul perlu memberikan tambahan kesejahteraan pada setiap bulannya bagi Lurah Desa dan Pamong Desa se-Kabupaten Bantul. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, Pemerintah Kabupaten Bantul perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Pemberian Tambahan Kesejahteraan Bagi Lurah Desa dan Pamong Desa se-Kabupaten Bantul Tahun Anggaran 2012. Dengan dasar tersebut, pemerintah Kabupaten Bantul telah mengeluarkan Peraturan Bupati Bantul No 03 Tahun 2012 Tentang Pemberian Tambahan Kesejahteraan Bagi Lurah dan Pamong Desa Se-Kabupaten Bantul Tahun Anggraan 2012.

Dengan dikeluarkan Peraturan Bupati Nomor 03 Tahun 2012 tersebut seluruh Lurah dan Pamong desa Se-kabupaten Bantul diharapkan mampu memberikan perubahan kearah yang lebih baik lagi diantanya adalah untuk meningkatkan disiplin, kinerja dan hasil kerja Lurah Desa dan Pamong Desa se-Kabupaten Bantul serta mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Peraturan Bupati Nomor 03 Tahun 2012 disebutkan adanya penambahan dana kepada lurah dan pamong yang tercantum dalam pasal 3 sebagaimana di sebutkan sebagai berikut:

Dalam Peraturan Bupati No 03 Tahun 2012 Pasal 3 Besarnya tambahan kesejahteraan bagi Lurah Desa dan Pamong Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sebagai berikut :

a. Desa Rendah :

1) Lurah Desa sebesar Rp 690.000,00 / bulan

2) Carik Desa Non PNS sebesar Rp 625.000,00 / bulan

3) Kepala Bagian sebesar Rp 525.000,00 / bulan

4) Dukuh sebesar Rp 465.000,00 / bulan

5) Kaur TU BPD sebesar Rp 465.000,00 / bulan

6) Staf Desa sebesar Rp 435.000,00 / bulan

b. Desa Sedang:

1) Lurah Desa sebesar Rp 675.000,00 / bulan

2) Carik Desa non PNS sebesar Rp 615.000,00 / bulan

3) Kepala Bagian sebesar Rp 515.000,00 / bulan

4) Dukuh sebesar Rp 420.000,00 / bulan

5) Kaur TU BPD sebesar Rp 420.000,00 / bulan

6) Staf Desa sebesar Rp 360.000,00 / bulan

c. Desa Tinggi :

1) Lurah Desa sebesar Rp 655.000,00 / bulan

2) Carik Desa non PNS sebesar Rp 600.000,00 / bulan

3) Kepala Bagian sebesar Rp 495.000,00 / bulan

4) Dukuh sebesar Rp 400.000,00 / bulan

5) Kaur TU BPD sebesar Rp 400.000,00 / bulan

6) Staf Desa sebesar Rp350.000,00 / bulan

Memang harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau harapan tentu akan berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga berjalan baik. Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya mulai terlihat dalam otonomi daerah yang ada di Indonesia. Masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat tercapai.

Beberapa masalah yang menjadi anggapan umum bahwa kinerja birokrasi desa yang masih memiliki beberapa kekurangan dalam melakukan penyelengaraan pelayanan publik diantarnya adalah: Pemerintah Desa sebagai tingkat paling rendah dalam struktur pemerintahan, seharusnyadapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Selain itu, para aparatur Desaseharusnya dapat menampilkankinerja yang baik. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan telah jauh dari yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat antaralain adalah: Pertama, banyaknya keluhan dari masyarakat seperti menyangkut prosedurdan mekanisme kerjapelayanan publikyang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, dan terbatasnya fasilitas, sarana, dan prasaranasehingga tidak menjaminkepastian hukum, waktu dan biaya. Kedua, Ketidakpastian hukum waktu dan biaya tersebut sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab budaya masyarakat yang berkembang saat ini cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik ini merupakan penyebab dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian. Keempat, kondisi SDM aparatur pemerintahan desa yang belum menunjang sepenuhnyapelaksanaan otonomi daerah, kedisiplinan dan kinerja aparatur desa yang belum maksimal, dan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan aparatur pemerintah desa yang rendah.

Untuk memahami beberapa masalah yang seiring menjadi keluhan publik terkait pelayanan birokrasi pemerintahan oleh aparat, diantaranya dapat disebutkan ( Lijan Poltak Sinambela. 2012:36) diantaranya adalah:

1.Memperlambat proses penyelesaian perizinan

2.Mencari berbagai dalih, seperti kekuranglengkapan dokumen pendukung,   keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih lain yang sejenis

3.Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain

4.Sulit dihubungi

5.Senantiasa memperlambat dengan menggunakan kata-kata “sedang di proses

Menurut KR.Ranah dalam jurnal “Pelayanan Publik yang Berbelit; Warisan Penjajah Agar Kita Tak Bisa Maju” yang terbit 31 januari 2008 menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi tidak berjalannya pelayanan publik dengan baik yaitu : pertama, masalah struktural birokrasi yang menyangkut penganggaran untuk pelayanan publik. Kedua, yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik adalah adanya kendala kultural di dalam birokrasi. Selain itu ada pula faktor dari perilaku aparat yang tidak mencerminkan perilaku melayani, dan sebaliknya cenderung menunjukkan perilaku ingin dilayani.

Fenomena tersebut tidak membuat masyarakat untuk memberikan penilaian terhadap kinerja pelayanan birokrasi desa dikarenakan beberapa faktor diantaranya adalah: faktor budaya politik yang ada di dalam masyarakat belum menunjukan adanya budaya politik partisipan sehingga melakukan penilaian dan evaluasi kinerja terhadap kinerja suatu birokrasi belum menunjukan adanya suatu hal yang dianggap penting. Selanjutnya Agus Dwiyanto (2012:47) menyatakan bahwa  penilaian kinerja birokrasi publik masih amat jarang dilakukan. Berbeda dengan organisasi bisnis yang kinerjanya dengan mudah bisa dilihat dari prifitibilitas, yang di antaranya tercermin dari indeks harga saham di bursa, birokrasi publik tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan tidak mudah diperoleh informasinya oleh publik. Memang beberapa informasi seperti ketidakpuasan masyarakat mengenai pelayanan birokrasi seperti yang dimuat di berbagai media masa menjadi indikator dari rendahnya kinerja birokrasi publik. Namun, sejauh ini informasi yang akurat dan bisa dengan mudah diperoleh oleh publik mengenai kinerja birokrasi publik belum tersedia di dalam masyarakat. Selain itu dalam peraturan Bupati Bantul Nomor 03 tahun 2012 tersebut, hanya mengatur pemberian tambahan kesejahteraan bagi lurah desa dan pamng se-Kabupaten Bantul saja, peraturan tersebut tidak disertai dengan aturan-aturan yang telah mengatur berkenaan dengan ukuran-ukuran peningkatan disiplin, kinerja, dan hasil kerja lurah desa dan pamong desa sehingga lurah desa dan pamong desa dapat dipastikan belum ada usaha dalam meningkatkan kinerja, disiplin kerja, dan hasil kerja untuk menuju perubahan yang lebih baik dalam pelayananan publik.

Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan. Pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang besar dalam kepada kabupaten dan kota untuk menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan dinamika lokal. Pemerintah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan dan program yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, salah satu indikator penting keberhasilan otonomi daerah adalah implikasinya terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Tentu terlalu dini untuk menilai keberhasilan otonomi daerah dar implikasinya terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik, mengingat survei ini dilakukan hanya setahun setelah otonomi daerah dilaksanakan. Namun, setidak-tidaknya dari potret kinerja pelayanan publik ini berbagai aspek dari observasi terhadap kinerja implementasi otonomi daerah dapat dilakukan. ( Agus Dwiyanto DKK. 2003: 81)

Dari beberapa gambaran permasalahan di atas maka penulis perlu mengadakan penelitian tentang Implementasi Peraturan Bupati Bantul Nomor 03 Tahun 2012 dalam meningkatkan kinerja Birokrasi Pemerintah Desa Triharjo. Dengan harapan dapat ditemukan tentang Implementasi Peraturan Bupati Bantul No 03 2012 dalam meningkatkan kinerja birokrasi Pemerintah Desa Triharjo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun