Ya kata-kata itu selalu terlintas dalam benak saya ketika harus meilmilih diantara "umum" dan bisnis atau aktivitas saya yang tidak mungkin saya tinggalkan. Kata-kata "umum" diartikan sebagai orang yang memiliki jiwa-jiwa sosial di kampungku. Jadi , orang yang jarang gotong royong, "njagong sripah", "genduren" sering di katakan atau dijuluki "wong ra umum" (orang yang tidak meiliki jiwa sosial), itulah patokan paten yang di gunakan orang-orang di kampungku tanpa memandang profesi, kesibukan, ataupun memakluminya. Standar julukan " wong ra umum" bahkan menjadi momok bagi warga karena mereka takut akan di kucilkan apabila mendapat julukan itu. Ya itulah hukum adat, entah sumbernya dari agama apa saya juga bingung???? Tapi apakah hukum adat seperti itu yang pantas di kembangkan? atau membuat masyarakat menjadi " guyup, rukun lan bebarengan". Mungkin iya, tapi ketika kita melihat dari sudut pandang agama, bukankah berbakti sosial itu bukan karena takut di juluki sebagai "wong ra umum"?, tapi niat dalam hati nurani bahwa berbakti sosial itu TULUS MEMBANTU ORANG LAIN ATAS DASAR KECINTAAN KEPADA SASAMA UMAT MANUSIA DAN TAK MENGHARAP PUJIAN ATAUPUN BALASAN MELAINKAN HANYA BALASAN DARI ALLOH S.W.T SEMATA? itulah dilema yang selama ini saya rasakan yaitu dilema moral yang sering membuat orang-orang yang memiliki aktivitas padat menjadi tersudutkan.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H