Mohon tunggu...
Farah Umaina
Farah Umaina Mohon Tunggu... -

Just a school girl

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemana Hilangnya Kotaku?

16 Juni 2012   13:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami hanyalah orang rantauan, jauh dari tanah kelahiran dan tempat di mana dulu sering mendengar cerita sebelum tidur dari nenek dan kakek. Tempat di mana kami dilahirkan, hanyalah sebuah kota bersahaja yang penduduknya tak banyak tingkah. Tempat kami dilahirkan, adalah sebuah kota bersahaja yang gadis-gadisnya pemalu, tak pernah melawan orang tua, apalagi turun ke jalan dengan pakaian terbuka. Tempat kami dilahirkan, hanyalah sebuah kota bersahaja di mana penduduknya hidup berdasarkan tuntunan alim ulama. Guru begitu dihormati, begitu pula dengan orang tua, tak pandang rupa siapa mereka. Kota tempat kelahiran  kami, bahasanya mendayu-dayu, penuh lekak-lekuk penuh kesopanan, kelemahlembutan tiada tara, ah, kota tempat kelahiran kami...

Lalu dua puluh tahun berlalu, ingin rasanya pulang ke kampung halaman. Ingin lagi menghirup uap air sungai yang jernih, ingin rasanya tidur dibelai angin. Ingin juga rasanya mendengar suara orang mengaji, mendayu-dayu dari musholla ataupun masjid. Ingin rasanya bersenandung ria, bermain air sambil menyanyikan lagu pantun-pantun lama. Maka pulanglah kami. Sanak saudara menunggu di sana, ketika kami kirim kabar akan pulang. Kiranya sedekah dijadikan, maka ketan kuning dan ayam panggang masih jadi aturan.

Namun baru saja masuk pintu gerbang, keganjilan kami temukan. Mata kami saling pandang, menatap ke sana kemari tak percaya. Inikah kota kelahiran kami? Bacaan di mana-mana sama, ya, inilah kota kelahiran kami, tumpah darah kami, tempat di mana nenek moyang kami berasal. Tapi mengapa jadi begini?

Di sudut jalan-jalan, terlihat anak-anak kecil menggendong bayi, menadahkan tangan pada mobil-mobil mewah. Di dalam bus-bus reyot, sang sopir menenggak tuak, membunyikan lagu-lagu remix sekehendak hatinya, memekakkan telinga. Bus reyot itu juga jadi sarang preman, pencuri, rampok, dan tukang todong. Tak tanggung-tanggung, yang naik bus untuk meminta uang bukan hanya pengamen, tapi preman-preman dengan tampang sangar yang gagah badannya tapi tak mau bekerja. Perutnya lapar minta diberi makan, tapi mulutnya bau alkohol tak berkesudahan.

Gedung-gedung mencakar langit, tampak kontras dengan debu-debu yang menyapu wajah pejalan kaki yang lusuh. Cuaca terik dan keringat sudah tak keluar lagi. Kami berdiam diri sejenak. Mengapa gadis-gadis tak tahu malu, dengan dandanan penuh debu, rambut merah karena terbakar sinar matahari, mereka menyanyi di jalan, menggantungkan nasib pada sopir-sopir bus bejat yang mencolek-colek tubuh mereka? Mengapa orang-orang gagah dan mampu di sini memilih jadi pengemis?

Maka kami tahu, bahwa air sungai sudah tak jernih lagi. Semilir angin tak lembab lagi, angin yang datang pada kami adalah angin yang kering, angin yang dapat mengobarkan api. Maka kami paham, kota kelahiran kami sudah sirna, hilang. Semuanya digantikan dengan segala sesuatu yang menakutkan. Dan di antara gedung-gedung pencakar langit itu, ada selokan yang jadi tempat bersarang nyamuk, ada anak-anak tukang becak yang menangis kelaparan, ada manusia tua renta yang tak punya tempat tinggal,  ada pengedar narkoba kecil-kecilan, ada janda-janda tua yang menangis karena anak-anak yang durhaka.

Lalu di mana semua yang telah kami miliki, sepertinya wajah-wajah yang tersenyum di ucapan selamat datang di kota ini sangat tidak kami kenal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun