Mohon tunggu...
Darju Prasetya
Darju Prasetya Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis freelance

Pemerhati kehidupan....penyuka dunia tulis menulis....Pengembara di dunia.......Pencari dunia baru untuk kehidupan yang lebih baik......Email: prasetya58098@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Selamat Tinggal Kurikulum Merdeka: Mengembalikan Filosofi dan Kompetisi dalam Pendidikan Indonesia

8 November 2024   09:28 Diperbarui: 8 November 2024   09:50 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dalam beberapa tahun terakhir, sistem pendidikan kita mengalami kemunduran kualitas yang sangat komplek sejak diperkenalkannya Kurikulum Merdeka oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saat itu, Nadiem Makarim. Kurikulum ini mengusung semangat kebebasan belajar, yang bertujuan untuk mengedepankan kemerdekaan peserta didik dalam mengeksplorasi minat mereka. Namun, banyak pihak menilai bahwa kebijakan ini justru menciptakan berbagai masalah baru yang kontra produktif, terutama dalam hal kedisiplinan, kompetisi, dan hilangnya nilai moral. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali arah pendidikan di Indonesia dan melakukan perombakan total untuk memulihkan kualitasnya.

Salah satu kritik utama terhadap Kurikulum Merdeka adalah bahwa pendekatan ini dinilai terlalu memanjakan peserta didik. Dalam sistem yang menitikberatkan kebebasan, ada kecenderungan untuk mengurangi tekanan akademik dan mengabaikan nilai kompetisi. Namun, dalam dunia nyata, kompetisi adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan. Setiap orang dituntut untuk bersaing dalam mencapai tujuan hidupnya, baik di bidang akademik, karier, maupun sosial. Jika di sekolah tidak ada kompetisi yang sehat melalui sistem peringkat atau ujian, anak-anak akan sulit membangun mental tahan banting yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan hidup. Oleh sebab itu, kembalinya Ujian Nasional (UNAS) sebagai ujian standar nasional menjadi penting untuk membangkitkan semangat belajar dan memberi tujuan yang lebih jelas kepada para siswa.

UNAS bukan hanya soal nilai atau peringkat, melainkan juga merupakan ujian ketangguhan. Melalui ujian ini, peserta didik belajar bertanggung jawab atas hasil usaha mereka, menguji ketahanan mental, dan membentuk daya juang untuk meraih prestasi terbaik. Tanpa adanya ujian yang jelas, siswa kehilangan arah dan cenderung menyepelekan proses belajar itu sendiri. Sistem pendidikan yang terlalu longgar berisiko menurunkan etika, moral, dan disiplin siswa. Tanggung jawab dan etika yang baik perlu ditanamkan sejak dini, dan sayangnya, konsep "Kurikulum Merdeka" terkesan kurang menekankan aspek-aspek penting ini.

Kritik lain yang sering dilontarkan terhadap kebijakan pendidikan di era Kurikulum Merdeka adalah adanya program seperti Guru Penggerak, Platform Merdeka Mengajar (PMM), dan Pelaksanaan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Meski tujuan nampak positif, banyak pihak berpendapat bahwa program-program ini justru menambah beban administratif bagi guru. Seorang guru seharusnya dapat fokus mengajar dan mendidik, bukan malah terbebani oleh tugas-tugas administrasi yang berlebihan dan kegiatan-kegiatan yang menghabiskan waktu untuk bisa fokus pada pendidikan dan pengajaran. Saat guru terjebak dalam birokrasi dan harus mengelola beragam program, mereka akan kesulitan memberikan perhatian penuh pada proses pembelajaran di kelas.

Selain itu, program zonasi sekolah juga menimbulkan banyak masalah yang tidak baik bagi kebebasan siswa untuk memilih sekolah yang terbaik. Awalnya, zonasi dimaksudkan untuk pemerataan kualitas pendidikan di seluruh wilayah. Namun, kenyataannya, kebijakan ini justru menyebabkan masalah baru, seperti berkurangnya sekolah unggulan yang menjadi tempat berkumpulnya siswa-siswa berprestasi. Zonasi juga menimbulkan penurunan kualitas untuk bisa berkompetisi dalam berprestasi. Sebaiknya, sistem sekolah unggulan perlu dipertahankan dan dikembangkan agar siswa yang memiliki kemampuan akademik lebih bisa mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Hal ini juga mendorong semangat kompetisi positif di kalangan siswa.

Dalam pendidikan, tidak hanya pengetahuan kognitif yang perlu diajarkan, tetapi juga nilai-nilai rohani, etika, dan moral. Sistem pendidikan Indonesia perlu mengembalikan nilai-nilai filosofis yang menekankan aspek afektif atau kecerdasan emosional, sehingga siswa tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak secara emosional. Nilai-nilai afektif inilah yang membentuk karakter dan kepribadian siswa agar menjadi individu yang bertanggung jawab dan beretika baik. Kurikulum yang hanya menekankan kemerdekaan tanpa disiplin dan tanggung jawab akan membuat siswa kehilangan arah dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, penting untuk menyediakan perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan peran mereka. Guru adalah sosok yang memiliki peran penting dalam mendidik dan mendisiplinkan siswa, namun saat ini, banyak guru merasa ragu untuk menegakkan disiplin karena khawatir akan masalah hukum. Jika guru dapat didukung secara hukum dalam menerapkan kedisiplinan di sekolah, maka siswa akan lebih menghargai aturan dan norma yang diajarkan. Hal ini juga membantu menjaga ketertiban dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Di samping itu, penghapusan kenaikan kelas otomatis juga layak dipertimbangkan. Dengan adanya sistem naik dan tidak naik kelas, siswa akan merasa terdorong untuk belajar lebih giat dan bertanggung jawab atas hasil akademik mereka. Sistem ini tidak dimaksudkan untuk menekan siswa, melainkan sebagai upaya memberikan motivasi dan mengembangkan mental tahan banting. Ketika siswa tidak naik kelas, mereka akan menyadari pentingnya usaha dan kegigihan dalam meraih tujuan.

Sebagai penutup, pendidikan adalah fondasi bagi masa depan bangsa. Kurikulum Merdeka mungkin lahir dengan tujuan yang baik, namun penerapannya yang terlalu longgar mengabaikan banyak aspek penting dalam pendidikan. Sudah saatnya bagi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru untuk mempertimbangkan perombakan besar dalam sistem pendidikan kita dan menghapus kurikulum merdeka, menghapus apa yang namanya guru penggerak, hapus PMM yang terlalu administratif. Pendidikan dasar dan menengah perlu lebih filosofis dan menekankan nilai-nilai moral, disiplin, serta kompetisi yang sehat. Bahkan kurikulum di era tahun delapan puluhan atau sembilan puluhan nampaknya hasilnya lebih baik dan anak lebih tangguh dan bersemangat untuk belajar. Pendidikan bukan hanya soal kebebasan, tetapi juga tentang tanggung jawab, daya juang, dan persiapan menghadapi dunia yang penuh kompetisi. Kembalikan nilai-nilai dasar dalam pendidikan kita agar generasi mendatang menjadi lebih tangguh, berakhlak, dan siap menghadapi tantangan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun