Mohon tunggu...
Darius Kaba
Darius Kaba Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya seorang tukang cukur keliling

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kehidupan Sosial di era AI: Perjalanan dari Dialog yang Autentik Menuju Dunia yang dilapisi Ilusi

22 Desember 2024   16:36 Diperbarui: 22 Desember 2024   16:36 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kehidupan Sosial di Era AI: Perjalanan Dari Dialog yang Autentik Menuju Dunia yang Dilapisi Ilusi"

Dalam laku zaman yang serba digital, komunikasi manusia menghadapi transformasi yang mengguncang hakikatnya. Teknologi, terutama kecerdasan buatan seperti Meta AI di WhatsApp memandu langkah kita menjauh dari pertemuan langsung antar jiwa, menggantikan perbincangan tatap muka dengan aliran data yang datar. Dihiasi pandangan pemikir besar seperti Hannah Arendt, perubahan ini bukan hanya soal bentuk interaksi kita, tapi juga ancaman terhadap esensi kehidupan sosial yang sejati.

Arendt mengajak kita untuk merenung, bahwa ruang publik yang otentik adalah dunia tempat kata-kata lahir dari pertemuan jiwa-jiwa manusia. Di sinilah identitas dibentuk di mana setiap individu menyuarakan pandangannya dan dengan rendah hati menerima pandangan orang lain. Dunia di mana pertemuan itu mencipta makna yang lebih dalam, menjalin jalinan relasi yang menghidupkan kita sebagai manusia. Namun, di tengah hegemoni media dan teknologi yang semakin mendominasi, ruang untuk percakapan langsung ini kian tergerus.

Sekarang, teknologi seperti Meta AI menyulam percakapan kita dalam jaring-jaring percakapan yang semakin jauh dari kedalaman sejati. Walau jawabannya datang dengan kilat dan efisiensi yang menggoda, tak ada sentuhan jiwa yang memberi kehidupan pada kata-kata. AI tidak bisa mengerti jeritan batin yang tak terucap, atau keheningan yang menjelma menjadi pernyataan lebih dalam dari sebuah kalimat. Akibatnya, kita berada di luar lapisan emosi dan kedalaman sosial, menjauh dari percakapan yang berbicara langsung pada jantung manusia, mengarahkan percakapan menuju permukaan yang datar, tanpa ada ruang untuk refleksi yang sesungguhnya.

Di tengah realitas ini, Meta AI di WhatsApp dan aplikasi serupa menghidupkan sebuah dunia fiksi yang tampaknya nyata, tapi begitu jauh dari hakikat interaksi manusia. Di sana, identitas kita tidak lagi dibentuk oleh pertemuan langsung dengan sesama, melainkan oleh algoritma yang membentuk persona kita. Dunia yang tercipta bukan lagi tempat perjumpaan manusia, tetapi ruang semu di mana kita berpura-pura, berbicara dengan bayangan, bukan dengan kehadiran sejati. Alih-alih membangun hubungan yang mendalam, komunikasi kita perlahan berubah menjadi simulasi; sebuah dunia hiperrealitas yang tampak riil namun tercerabut dari kenyataan yang kita alami.

Kita kini berdiri di batas antara kenyataan dan ilusi, antara kehidupan sosial yang membumi dan dunia yang direkayasa oleh kode dan data. Seiring berjalannya waktu, jika alur ini terus berlanjut, kita mungkin kehilangan kemampuan untuk menjalin hubungan yang benar-benar berarti. Percakapan yang sebelumnya penuh makna bisa tergantikan oleh percakapan otomatis yang semakin menjauhkan kita dari kehadiran yang sejati.

Ini adalah dilema besar yang sedang dihadapi: saat dunia semakin terhubung melalui algoritma, kita justru perlu menegaskan kembali ruang untuk kehidupan sosial yang murni, di mana manusia bisa berbicara, mendengarkan, dan berbagi pengalaman dengan tulus. Tanpa adanya penghalang fiksi digital yang mencemari esensi hubungan manusia, hanya dengan kehadiran nyata kita bisa menemukan kembali makna sejati dalam pertemuan dan komunikasi yang membentuk keberadaan kita sebagai manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun