Era globalisasi mempengaruhi pola dan bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara dari konvensional (fisik) ke multidimensional (fisik dan nonfisik) dan hal ini membuat permasalahan pertahanan menjadi semakin kompleks. Penyelesaiannya tidak hanya bertumpu pada kementerian yang menangani pertahanan semata, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh instansi terkait baik pemerintah maupun non pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat.
Founding fathers dengan kearifannya telah mengantisipasi kondisi tersebut dengan menetapkan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yang dilandasi oleh kesadaran dan tanggung jawab seluruh masyarakat dari berbagai profesi untuk membela negara. Hal tersebut tertuang dalam pasal 30 UUD 45 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara yang kemudian diamandemen dan dipindahkan ke ayat(3) pasal 27 Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, mengenai pengaturan hak dan kewajiban bela negara. Disebutkan, sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta adalah resultante seluruh upaya negara dalam pertahanan negara.
Undang Undang Nomor 3 Tahu 2002 tentang Pertahanan Negara, kemudian menjabarkan poin tersebut lebih rinci. Dengan meletakkan negara dalam perspektif menghadapi ancaman militer dan non militer yang memberikan keluasan dalam pengembangan akses dan kepedulian pemuda.
Sejarah telah mencatat begitu banyaknya peran nyata pemuda dalam menghadapi ancaman militer dan non militer. Kini disaat demokrasi tumbuh dan berkembang, pemerintah melihat adanya tantangan akses dan kepedulian pemuda dalam bela negara yang bersifat semesta dan beraspek non militer.
Kedangkalan.
Meskipun kepedulian pemuda sangat membanggakan akan tetapi dari sisi konsepsi dan metode masih tidak jauh dari kebutuhan eksistensi dan peran sejarahnya. Kelemahan dalam memahami konsepsi inilah yang mengakibatkan dangkalnya daya kritis dan penyingkapan keliru. Dari kacamata pertahanan, hal itu dapat dipandang sebagai bagian dari indikasi lemahnya kekuatan non militer dan dinamika komunikasi yang membentuk kesenjangan antara generasi muda dengan elite bangsa.
Bentuk kesenjangan yang nampak ialah pada code dan encode menyangkut peran masing-masing dalam konteks kenegaraan. Misalnya dari sisi pemuda reaksi cepat untuk menolak kebijakan pemerintah tergambar sebagai sesuatu hal yang ’gue banget’ dan ‘berani tampil beda’. Namun dalam sudut pandang elite bangsa, itu adalah bentuk kedangkalan kebangsaan. Maka langkah awal yang harus terlebih dahulu dilakukan adalah menjembatani kesenjangan tafsiran code dan encode komunikasi pemuda dengan elite bangsa.
Pemerintah telah berupaya menjembataninya melalui RUU Pendidikan Kewarganegaraan. RUU ini diharapkan dapat menjadi media yuridis kesatuan visa rasa, faham dan semangat kebangsaan, politik kebangsaan serta bela negara. Sekaligus menjadi kekuatan yuridis upaya persiapan dini pertahanan negara yang konkritisasi kekuatan fisiknya dapat ditangkap oleh RUU Latihan Dasar Militer, RUU Komponen Pendukung dan RUU Komponen Cadangan.
Diharapkan lahirnya keempat RUU ini akan memperbesar akses dan kepedulian pemuda dalam bela negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H