Hura-hura. Mabuk. Tabrak sana-sini. Malapetaka. Tak Menyesal.
Lima urutan kalimat pendek-pendek di atas mewakili apa yang disebut tragedi maut xenia. Pelakunya, Afriyani, mendadak menjadi tokoh antagonis nomor wahid. Dugem-ers, Pemabuk, Pemakai Narkoba, Pencabut nyawa 9 orang tak berdosa, Berwajah dingin, dan, maaf, tak bisa dibilang rupawan juga. Potret antagonisme yang sedemikian sempurna untuk kemudian dihujat dan dikutuk ramai-ramai. Sendirian.
Berita yang datang kemudian, menceritakan bahwa Afriyani shock berat. Maklum, kesadarannya telah pulang ke rumah, setelah belasan jam diusir minuman keras dan narkoba.
Tragedi itu memang sangat kasat mata dan mudah untuk dilukiskan dalam bingkai yang hitam putih. Jelas korban dan ‘penjahatnya’ yang mana. Bagai film koboi jaman dahulu yang bahkan dari tampang-tampang tokohnya saja sudah bisa ditebak mana biang kerok dan mana jagoannya.
Jika kita mau mencoba mengurangi sedikit gambaran yang simplistis, sangat ragawi, hitam putih seperti itu, rasanya karakteristik hura-hura, mabuk sesuatu, tabrak sana-sini yang berujung malapetaka, en toh tak menyesal, bukan monopoli Afriyani. Kejadian Afriyani ini hanya seperti sebuah sampel kecil dari tipe penyakit yang sama dari diri kita ini, baik sebagai individu maupun sebagai sebuah bangsa.Untuk mudahnya, kita sebut saja ini “Afriyanic Syndrome”.
Coba kita diagnosa diri kita. Yakinkah kita bahwa kita tak sedang mengendarai hidup kita masing-masing ini seperti cara Afriyani menyetir xenia mautnya itu. Mabuk kesenangan, mabuk harta, mabuk jabatan, mabuk dunia sehingga hidup kita ini menjadi liar tubruk sana tubruk sini. Tak begitu jelas sebenernya di depan kita ini mesti belok kemana. Bahkan apa yang di depan kita pun pandangan kita kabur.
Bisa jadi dalam hidup kita ini, manuver kehidupan kita telah menabrak hak dan kepentingan banyak orang, tapi kita tak sadar. Kalaupun disebut sadar, itupun sebatas memahami dan memaknainya sebagai sebuah konsekuensi kehidupan dunia yang katanya memang sebuah persaingan akbar. Mesti cepat dan tepat. Harus ada yang menang dan wajib ada yang kalah. Dan jamaknya lomba, juara maksimal hanya 3, tapi yang kalah pasti jauh lebih banyak dari itu. Karenanya, tak ada penyesalan.
Dalam konteks bernegara pun, mabuk harta dan mabuk jabatan telah menggelapkan mata sehingga elite politik tubruk proyek sana sini. Tak sadar bahwa tindakannya itu telah merugikan banyak sekali manusia di negara ini. Ekspresi wajah para pelakunya pun, seperti terlihat di media televisi misalnya, tak terlihat menyesal karena perbuatannya. Kalau menyesal karena ketahuan, itu mungkin. Bahkan beberapa terlihat seperti menantang. Begitulah kalau orang sedang tak sadar. Sedang mabuk.
Duh Gusti, dalam kemabukan kami yang hebat ini, kami tak sanggup minta banyak-banyak. Kami hanya minta satu hal : sadar selagi hidup sehingga tak menyesal setelahnya..Amiiin.
28 Januari 2012
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI