Pasifik, anakku yang pertama.
Pengelana dunia yang terkenal, Magellhaens, menjuluki samudera ini Mare Pacifico, samudera yang tenang. Tak hanya tenang, ia juga sangatlah luas, bahkan terluas. Tak ada samudera lain yang mengalahkannya dalam hal keluasan di muka bumi ini. Di dalam ketenangannya yang misterius itu, tersembunyi palung terdalam di dunia, Palung Mariana.
Begitu pula anakku. Tenang. Luas. Dalam. Misterius.
Seakan tak ada sakit yang perlu dirintihkan, apa lagi dijerit dan lolongkan. Mulutnya rapat menyimpan semua. Hanya mata sayu dan tetes air bening yang membiaskan sakit yang dirasakannya.  Tatkala senang, senyum dan binar mata seperti sudah mencukupi baginya. Tak hanya sakit dan senang, rasa takutpun seperti terbungkus tersembunyi dalam palung hatinya yang dalam.
Butuh kegigihan dan oksigen yang banyak untuk menyelaminya. Butuh kesabaran untuk mengarunginya. Cantiknya anakku adalah cantik yang tersamar. Cantik yang butuh ketekunan untuk menemukannya dengan penuh penghayatan.
Bagi Magellhaens yang religius, perjumpaan dengan Pasifik adalah hadiah dari Tuhan, setelah berjuang melawan ganasnya ombak dan badai. Hadiah ketenangan setelah kecamuk pemberontakan anak buahnya sepanjang perairan Amerika Selatan. Demikian pula bagiku, anakku adalah sebuah kado tanda kasih dari-Nya.
Hanya saja, sejarah kemudian mencatat Magellhaens melintas dan meninggalkan Pasifik untuk kemudian terbunuh di Filipina.
Aku, aku akan menghabiskan pelayaranku di dunia ini, menjadi sahabat terbaik bagi anakku, sang Pasifik. Sampai habis waktuku, sampai Tuhan memanggilku ke Dermaga-Nya kembali…
Untuk anakku, Val "Pacific" Adhinandini
16 Januari 2012
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI