“Australia akan hentikan ekspor sapi ke Indonesia” (Kompas 1 Juni 2009)
Judul dan isi berita di bawahnya tak terlalu menarik perhatian sebenarnya. Posisi halamannya juga di tengah-tengah, halaman 18 di kiri bawah. Tidak panjang lagi. Kalah dengan iklan Nissan Juke yang satu halaman sendiri. Entah kenapa saya tetap ingin tahu. Ingin tahu kenapa pemerintah Aussie ini ngambek tidak mau mengirim lagi sapinya kepada kita.
Jawabannya lugu saja. Katanya, warga Aussie menonton tayangan televisi yang memperlihatkan bagaimana sapi-sapi yang mereka kirimkan ke Indonesia diperlakukan semena-mena di akhir hayatnya. Semena-mena seperti apa? Dalam tayangan televisi itu ditunjukkan bahwa di 11 tempat pemotongan sapi di Indonesia, para sapi itu disembelih dan dibiarkan menggelepar-gelepar sekarat sampai dengan 3 menit. Lalu di mana letak permasalahannya sampai mereka ngambek begitu?.
Konon di Australia sana, proses penyembelihan harus sedemikian rupa sehingga hewan hanya butuh maksimal 30 detik dari sejak dipotong lehernya sampai dinyatakan mati sempurna. Kesimpulannya, kalau tayangan di jaringan tv ABC itu benar, seekor sapi di Indonesia harus menanggung derita pencabutan nyawa 6 kali lebih lama dibanding batas maksimal di Australia.
Meskipun saya belum pernah, mudah2an jangan pernah mengalami pedihnya sakit disembelih, saya yakin rasa sakitnya tak terkira. Dengan logika seperti itu, satu detik saja perpanjangan waktu di saat kritis itu, pasti sangat-sangat menyiksa. Sebaliknya, sekian detik diperpendek tentu sangat besar artinya dalam mengurangi perihnya penderitaan meregang nyawa itu. Kalau begini jalan ceritanya, memang tragis sekali nasib sapi Aussie yang jadi pahlawan devisa bagi Australia itu di sini. Pantaslah tetangga kita Australia itu sebegitu sebelnya.
Pola perlakuan Australia terhadap hewan, bukan manusia, dan itupun sudah menjelang ajal, menyatakan sesuatu dengan sangat jelas. Perlakuan mereka pada sapi-sapi itu menunjukkan edemikian ‘manusiawi’ nya mereka. Seolah, pengorbanan hewan untuk menjadi asupan bagi tubuh kita itu harus dihargai sepantasnya dengan mengurangi waktu deritanya sependek mungkin.
Apakah kita tidak tahu ajaran mulia itu? Sangat tahu. Ajaran tentang bagaimana memperlakukan hewan dengan baik saya yakin ada di semua agama di Indonesia ini. Karena saya beragama Islam, ijinkan saya menggunakan contoh dari ajaran Islam yang saya pernah dengar. Nabi kami yang mulia, Muhammad SAW mengajarkan agar kami, selain menyebutkan nama Tuhan, juga mengharuskan mengasah pisau setajam mungkin sebelum menyembelih hewan. Tujuannya agar hewan itu sesegera mungkin mati. Tidak berlama-lama dalam penderitaan. Semakin singkat semakin baik.
Bisa disimpulkan terjadi diskoneksi. Ajaran mulia tetap di langit konsep, belum turun ke bumi realita. Diskoneksi ini kemungkinan juga tidak hanya mengambil korban sapi. Bisa jadi obyek penderitanya adalah manusia, hutan, bumi sumber galian tambang, sungai dan lautan kita juga. Soal manusia, TKI dan TKW bisa dijadikan contoh. Mereka jelas-jelas manusia, bergelar pahlawan devisa, terlantar di negara tetangga, diperlakukan kejam dan bahkan diancam hukuman mati tanpa pembelaan yang pantas. Kembali ke Indonesia jadi mangsa empuk para pemeras yang KTPnya dipastikan beragama. Sebuah ironi yang sempurna.
Hari ini, 1 Juni, dirayakan sebagai hari Pancasila dilahirkan. Sayangnya, sang Garuda sepertinya tidak lagi di sini. Jangan-jangan kita tak sadar, burung kebanggaan kita yang ultahnya kita rayakan hari ini itu, telah lama terbang jauh dari kita. Bisa jadi dia telah terbang ke Australia….
1 Juni 2011
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI