Mohon tunggu...
Onodario
Onodario Mohon Tunggu... -

Orang ndeso pencari substansi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengabdian dan Kesetiaan

22 Januari 2012   16:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:34 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak tahu kenapa, jika mendengar kata pengabdian, abdi dan segala kata yang ‘bersaudara’ dengan itu, yang saya ingat kok ya abdi dalem di keraton Jogja. Mungkin, 5 tahun tinggal di kota gudeg itu sebabnya.

Kebetulan suatu saat saya pernah berbincang singkat dengan seorang tukang becak yang omong punya omong ternyata ‘rangkap jabatan’ sebagai abdi dalem Ingkang Sinuwun (Sri Sultan Hamengku Buwono). Gaji dia dalam sebulan sebagai abdi dalem, kalau tidak lupa, tak lebih dari ceban alias sepuluh ribu. Ketika saya tanya kenapa dia mau melakukan itu, dia bilang dengan lugu karena mengharapkan berkah dari Ingkang Sinuwun. Bukti nyata berkah dari Ingkang Sinuwun, menurut dia lho ini, antara lain adalah adanya rasa tenteram yang dia rasakan dalam kehidupannya.

Dari situ saya simpulkan, pengabdian abdi dalem alias tukang becak itu ternyata lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan dasar, sandang, papan, pangan. Pengabdian yang dia lakukan bermotifkan jauh di atas itu. Bahasa kerennya mungkin pemenuhan kebutuhan spiritual. Pengabdian seperti ini, yang ditunjukan di depan hidung saya oleh ‘sekedar’ tukang becak, terasa murni, jauh dari hingar bingar sok pamer. Ia membuat saya menyerah, takluk mengiyakan, itu memang pengabdian. Mulia.

Omong-omong, andaikan saya punya keahlian menelusuri sejarah kata-kata, akan saya lacak siapa penemu kata pengabdian ini. Akan saya tanya apa yang dia maksud dengan kata ini. Meskipun sampai saat ini saya belum bisa bertemu si brilian penemu kata itu, bolehlah saya menduga sendiri.

Dugaan kasar saya, kata “pengabdian”, memang dimaksudkan untuk mewakili sesuatu yang mulia. Di agama saya, mengabdi itu bahkan hanya pantas dipersembahkan kepada Dia Yang Maha Tinggi, Tuhan Semesta Alam. Jadi, kalau kata itu terpaksa dipinjam dalam konteks yang lain, ya haram hukumnya, kalau tidak luhur, tidak mulia. Dilarang keras menggunakan kata pengabdian kalau substansinya hanya seolah-olah mulia, dipaksakan mulia atau di-mulia-mulia-kan padahal tidak.

Kembali pada si tukang becak tadi, bagaimana soal kesetiaan dia? Jawabnya gampang. Bagaimana mau tidak setia kalau pengabdian sudah pada level mulia, pemenuhan kebutuhan yang disadari sesadar-sadarnya? Yang tanpa itu dia kehilangan ketenteraman dalam hidupnya. Untuk apa juga harta berlimpah kalau hati gelisah. Di sini kesetiaan sudah jadi sisi lain dari mata uang yang sama dengan pengabdian.

So, bagaimana dengan para abdi dalem negara kita ini? Saya pasti dimarahi orang banyak kalau membandingkan abdi dalem a.k.a tukang becak itu dengan para pejabat yang terhormat itu, legislative, yudikatif, atau eksekutif. Yang kalau disumpah jabatan sudah pasti selalu di bawah kitab suci. Tidak dimarahinpun saya juga tidak akan nekat memaksakan diri membuat perbandingan karena saya bukan ahlinya membuat kajian yang ilmiah tentang itu. Nanti hasilnya malah zalim, semena-mena. Takut dosa.

Saya hanya mampu berharap, berdoa, semoga kita semua mampu menemukan makna mulia dari kehadiran kita di kantor setiap hari kerja. Mampu menyajikan makna mulia pada apa yang kita rencanakan dalam setahun, pada apa yang kita kerjakan, dan pada sederetan indeks yang kita sebut pencapaian. Menyadari makna mulia kenapa kita pantas mendapatkan gaji dan penghasilan lainnya selama ini.  Menyadari pula makna kenapa kita dihargai karena ‘pengabdian’ dan ‘kesetiaan’ kita setelah sekian tahun bekerja.

Kalaupun harapan itu belum terjadi, semoga kita diberikan kejernihan hati untuk melihat kenyataan seperti apa adanya. Diberikan kesabaran untuk menghadapi dan memperbaikinya satu per satu. Sepelik, se-sensitif, semahal dan selama apapun waktu yang dibutuhkan untuk itu.

Sepertinya tak ada pilihan. Itu kalau kita tetap keukeuh ingin layak disebut “pengabdi” yang “setia” pada negara ini. Kecuali, dua kata itu kita ganti.
Mau??

28 April 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun