Sungguh bahagia hati ini melihat pemimpin-pemimpin yang merakyat dan berkomitmen tinggi dalam menunaikan tugasnya. Jokowi yang gemar blusukan, Ahok yang pantang menyerah melawan segala nonsense yang selama ini bergulir di kehidupan masyarakat DKI Jakarta, dan baru-baru ini Ridwan Kamil yang gemar naik sepeda oenthel dan tiba-tiba turut berjibaku mengatasi kebakaran di rumah warga.
Saya cukup optimis mereka semua tulus melakukan semua itu tanpa keinginan khusus untuk meraih pencitraan.
Namun melalui tulisan ini saya justeru mengkhawatirkan hal lain. Zaman telah berubah dan masyarakat semakin mudah dan bahkan berminat mengakses berita mengenai keseharian para pemimpin.
Tiba-tiba saja keseharian para pemimpin menjadi suatu santapan media yang menarik minat masyarakat, dan membentuk opini publik yang menentukan “popularitas” para pemimpin ini. “Gebrakan”, menjadi kunci bagi para pemimpin untuk memperoleh apresiasi, karena prestasi nyata akibat kerja keras jangka panjang sulit menjadi komoditas berita, dan justeru kalau dalam istilah Inggrisnya “low hanging fruits” atau buah yang mudah dipetik yang jadi suatu amunisi bagi pemimpin untuk tetap disukai warganya. Ini karena berita akan terus menyorot, jadi harus selalu ada berita positif bahkan “bombastis”.
Birokrasi diciptakan untuk governance, dan identik dengan stabilitas. Zaman memang berkembang dan sorotan media sebenarnya membawa manfaat meningkatkan akuntabilitas pemimpin karena mereka akan selalu sadar bahwa masyarakat memiliki akses kepada kinerja mereka.
Kehadiran pemimpin seperti Risma, Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, dan di tingkat menteri Dahlan Iskan, tentunya menjadi suatu motivasi atau bisa juga “cambukan” bagi pemimpin lain.
Pertanyaannya, apa sebenarnya yang menjadi kekhawatiran saya? Pertama, keberhasilan pembangunan ditentukan pula oleh long term achievement yang dibangun dengan konsisten. Saya cukup yakin banyak pemimpin lain yang melaksanakan ini dengan cukup konsisten, walau tidak sedikit juga yang tidak.
Jika seorang pemimpin akhirnya ditentukan nasib popularitasnya oleh pemberitaan semata, dan berita lebih senang menyorot “sensasi”, maka dikhawatirkan, sebagai politisi, mereka harus selalu mengedepankan waktu dan daya yang terbatas untuk hal-hal tersebut.
Kedua, pemimpin juga manusia, tidak salah bagi mereka untuk mendambakan apresiasi atas kerja keras mereka. Namun pemberitaan yang relatif tidak proporsional saat ini tentunya berpotensi menciptakan negative incentive.
Lalu apa solusinya? Saya rasa komunikasi publik atas kegiatan pemerintahan perlu dibangun, dan sorotan media seharusnya tetap berdampak positif. Namun, sebagai masyarakat, terutama yang lebih “melek” akan realita proses pemerintahan dan pembangunan, turut aktif mengkritisi media yang cenderung tidak “proporsional”.
Saya bahkan pernah berwacana dengan rekan-rekan saya, untuk membuat sebuah Award atau Apresiasi atas Good Governance, untuk mempublikasikan prestasi-prestasi pemimpin-pemimpin di Indonesia, yang mungkin selama ini luput dari media.
Semoga tulisan ini tidak disalahartikan sebagai suatu pesimisme, tetapi justeru sebagai optimisme dan berorientasi solusi bagi kebaikan bangsa kita. As much as we know blessing in disguise, a crisis may come disguised as a blessing. Tidaklah salah kita selalu kritis dan berhati-hati dalam melangkah, dan selalu obyektif dalam berpikir dan bersikap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H