DKI Jakarta sebagai ibukota sudah tidak terpisahkan dengan Bodetabek, dan secara keseluruhan kawasan Jabodetabek dengan populasi mendekati 30 juta jiwa, akan menjadi salah satu megapolitan terbesar di dunia.Â
Pertumbuhan Jabodetabek mulai memunculkan masalah, seperti kemacetan, banjir, yang kesemuanya disebabkan salah satunya oleh terlalu bertumpunya kegiatan di pusat kota Jakarta. Jabodetabek terkesan monocentric, dan peran-peran kota satelit seperti Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang dan Serpong, belum mampu menciptakan kegiatan-kegiatan ekonomi yang menjadi CBD (Central Business District) alternatif.Â
Justeru, CBD alternatif malah terwujud di poros jalan TB Simatupang, yang menjadi potensi koridor kemacetan karena kapasitas jalan yang sangat memanjang, dan pengembangan yang bukan dengan konsep blok, melainkan ribbon development yang menjalar disepanjang sisi jalan.
Kapasitas megapolitan Jabodetabek untuk menjadi lokomotif perekonomian nasional akan berpotensi stagnan jika tidak ada langkah yang dilakukan untuk mengatasi bottleneck. Hambatan ini berpotensi besar dapat teratasi jika bisa dikembangkan pola megapolitan polycentric yang dapat menyebarkan kegiatan ke kota-kota satelit. Artinya, CBD baru justeru seharusnya jangan hanya muncul di TB Simatupang, tetapi ke kota-kota satelit.
Saat ini, jalan tol lingkar luar (JORR-1) sudah terkoneksi penuh, sehingga interaksi antara kawasan Timur dengan Selatan dan Barat tidak lagi harus melalui pusat kota. Kedepannya, tengah berjalan pengembangan jalan tol lingkar luar kedua (JORR-2), yang akan menghubungkan Cengkareng ke Serpong, Serpong ke Cinere, Cinere ke Jagorawi, Jagorawi ke Cibitung, dan Cibitung-Cikarang ke Tanjung Priok. Artinya bahkan kota-kota satelit akan saling terkoneksi langsung.
Dari segi infrastruktur nasional, JORR-2 akan memperkuat jaringan jalan Jabodetabek dan dapat menjadi pilar megapolitan polycentric, karena konsisten dengan upaya mengurangi beban di tengah kota. Namun demikian, pembentukan CBD juga harus ditopang rencana tata kota yang sesuai ditingkat masing-masing kota satelit.Â
CBD selain terkoneksi baik secara konsentrik melalui JORR-2, juga harus terkoneksi dengan baik ke kota Jakarta. Konektivitas saat ini telah terwujud dengan adanya jaringan KA komuter yang menghubungkan poros Bogor-Depok-Jakarta, Cikarang-Bekasi-Jakarta, Serpong-Jakarta, dan Tangerang-Jakarta.Â
Kedepannya, kapasitas dan kualitas layanan KA komuter tentunya diharapkan membaik, dan PT KAI Commuter Jabodetabek telah berencana mengadakan penambahan gerbong 160 unit per tahun hingga 2019.
Sayangnya, belum terlihat suatu grand-design yang menonjolkan konektivitas CBD dengan jaringan KA komuter. Padahal, idealnya, mereka yang berkantor di CBD kota satelit, akan dengan mudah terhubung ke pusat kota Jakarta melalui jalur KA komuter. Hal ini dikarenakan orientasi pembangunan masih berorientasi kepada aksebilitas kendaraan bermotor pribadi.Â
Sebagai suatu contoh, di kota Depok, jalur KA justeru terkesan berada di belakang pusat aktivitas Margonda. Ini kebalikan dari Singapura dan Jepang, dimana pusat kegiatan berada di stasiun KA.
Jalan Margonda berkembang dengan aktivitas komersial yang menjalar di sepanjang sisi jalan. Akibatnya, walaupun jalan terus diperlebar, kemacetan tetap tidak terhindarkan, dan diperparah dengan kondisi drainase yang makin terancam sebagai ekses dari peningkatan intensitas kegiatan ekonomi di koridor tersebut.Â