Aku kembali, untuk menuliskan mimpi-mimpi yang terburai tanpa kata, juga dengan begitu banyak kata entah bermakna apa. Janji-janji yang terabaikan seiring waktu yang berlari mengejar pengharapan semu. dan ketika tiba saatnya, aku hanya tahu satu hal, sia-sia. Bukan karena aku berputus asa atau karena rasa tak percayaku yang memang nyata, hanya berkeras menyadarkan diriku sendiri yang bermimpi ketika terlelap bahkan terjaga.
Sekeras apapun usahaku, sebesar apapun aku menginginkannya, aku tahu... juga sangat mengerti, aku tidak akan pernah mendapatkannya. Lalu untuk apa berusaha? meyakinkan diri? bukan, tentu saja bukan. aku hanya tidak ingin menyerah, tidak mau berhenti. bukankah sebuah proses yang panjang sekaligus menyakitkan juga akan menuai hasilnya? setidaknya ada timbal-balik dari semua itu, walau rasa sakit yang mungkin lebih dulu menyiksa. sejujurnya, aku hanya ingin bertahan hingga batas penghujungnya agar tidak menyesal jika berakhir tanpa ada usaha apapun.
Bukankah berjuang(memperjuangkan rasa juga termasuk kan?) pasti berkorban? walau aku tak tahu sejauh mana kesanggupanku untuk tetap disini, pada hatiku yang memilih setia. Padanya, Hafidz al-Bahri yang sungguh-sungguh kucintai.
Cinta seringkali membuat lidahku kelu ketika mengucapkannya, namun hatiku lebih jujur dengan desirnya yang tenang juga debarnya yang menggetarkan. meskipun kata-kataku sering menipu diriku sendiri karena tak ingin mengaku, tapi tingkahku selalu berlagak tahu segalanya dengan tersipu dan binar yang tak dapat berkelit sedikitpun dari kenyataan itu.
Aku kadang bertanya, perasaanku ini sekedar cinta, atau nafsu yang sibuk menyamar dengan kata-kata yang mengalahkan para pujangga. Ah! Mungkin saja ini hanyalah obsesi karena aku merasa tertantang untuk mewujudkannya. Pasti begitu. Lalu mugkinkah aku rela bertahan setelah terlalu banyak perih yang ngilu menyiksa tiada usai walau sejenak? Mungkin saja, toh obsesi yang besar kadang mampu mengalahkan logika dan perasaan sekalipun. Tapi... Huh! Aku sudah sangat lelah berdebat dengan hatiku sendiri.
Dia manis. ehm tidak, lebih tepatnya good looking. begitulah menurut pengamatanku. Matanya, aha! Eye-catching euuyy... inilah bagian yang selalu mampu menyihirku. Hidungnya mancung dengan kombinasi bibir yang biasa. Ups! ternyata aku sudah terlalu detail mengamatinya. Ckckck, astaghfirullah. Dia cerdas, aku tidak tahu IQnya berapa atau pernahkah dia mengikuti semacam tes IQ. Aku hanya sangat menyukai tipe smart, yang selalu bisa memuaskan rasa ingin tahuku yang kadang-kadang melebihi batas kesabaran. Aku selalu ingin tahu banyak hal dan mudah sekali penasaran, untuk yang terakhir kami cocok sekali sehingga seringkali ribut hanya untuk hal-hal sepele.
Hafidz, bagaimanapun keadaannya, atau apapun yang terjadi, aku kini hanya sekedar menyadari bahwa aku mencintainya sepenuh hati. Jika orang bilang cinta akan berakhir atau bisa saja berubah, aku hanya tidak tahu dan belum tahu sampai kapan rasa ini akan bertahan disini. Di hatiku. sekarang, aku ingin tetap begini, menjalani saja seluruh suka-duka bersamanya.
berlanjut, nanti...mungkin besok? atau lusa? :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H