[caption id="attachment_306051" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi foto www.keamanan-blogspot.com"][/caption]
Pada masa sekarang ini, kekuatan militer Indonesia tengah membangun kekuatannya menuju pencapaian Minimum Essential Force (MEF) yakni standar kekuatan pokok dan minimum TNI untuk menghadapi ancaman dalam mempertahankan kedaulatan negara.Dan untuk mewujudkan kondisi seperti itu, Kemhan bersama TNI saat ini tengah mendesain serta menata Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista)yang merupakan materiil atau alat peralatan sistem senjata beserta sarana pendukungnya,yangdigunakan dalampelaksanaan tugas Operasi Militer Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Setelah menahan dahaga selama puluhan tahun tidak memodernisasi alutsista, kini belanja berbagai peralatan tempur yang tahapannya dimulai sejak tahun 2010 terus bergulir. Adapun deretan alutsista yang sudah dan akan datang maupun masih dalam proses tersebut diantaranya, Pesawat Sukhoi Su-30MK2, CN-295, Super Tucano EMB-314, Helikopter Bell 412 EP, Tank Amfibi BMP-3F, Panser Amfibi BTR-4, Pesawat CN-235 MPA, Pesawat Latih T-50, Main Battle Tank Leopard, Meriam Armed Howitzer, Rudal Arhanud Mistral, Helikopter Serbu Fennec AS 555 AP dan AS 550 C3, Multi Launcher Rocket System (MLRS) Astros II, Multi Role Light Fregate (MLRF), serta Helikopter Apache. Sementara sebagai upaya pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri, pemerintah memberikan support dengan Pinjaman Dalam Negeri (PDN) untuk pengadaan alutsista seperti Panser Anoa Pindad, Kapal Cepat Rudal (KCR), Kapal Angkut Tank, Kapal Bantu Cair Minyak, Pesawat CN-235 dan C-212, Helikopter NAS-332 Super Puma, beberapa persenjataan serta amunisi.
Dan, modernisasi alutsista TNI itu menimbulkan dampak. Pengamat militer yang juga pengajar pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Andi Widjajanto mengatakan, negara-negara di kawasan Asia tiba-tiba serius memperhatikan perkembangan di Indonesia, terlebih ketika Presiden SBY mengumumkan akan menghabiskan anggaran pertahanan hingga Rp150 triliun antara 2010-2014 untuk me modernisasi peralatan tempur TNI. Posisi Indonesia yang semula dipandang remeh dalam isu alutsista di Asia, kini mulai berubah. Menteri Pertahanan (Menhan) RI Purnomo Yusgiantoro pun berupaya meredam keresahan sejumlah negara-negara yang mulai “gerah” dengan langkah Indonesia, dengan membuat pernyataan, bahwa pembangunan kekuatan militer yang dilakukan Indonesia disebabkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan teknologi yang semakin membaik. Hal ini juga terjadi pada Cina, dimana pembangunan kesejahteraan selalu diikuti dengan pembangunan keamanan. Tetapi hal paling prinsip dari pengadaan alutsista, kata Menhan menegaskan penjelasannya kepada publik, tidak untuk menyerang negara lain melainkan bertujuan menjaga kedaulatan negara semata.
Sisi lain dari modernisasi alutsista TNI yang marak diungkap berbagai kalangan, adalah masalah mekanisme pengadaannya. Media massa, para pengamat militer maupun sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), banyak menyoroti bahkan tidak sedikit yang “berprasangka” melontarkan kecurigaan terjadinya penyelewengan atau penyalahgunaan anggaran.
Menyikapi situasi tersebut, seperti dilansir banyak media massa pada 2013 lalu, Kementerian Pertahanan (Kemhan) melalui siaran pers nya menjelaskan, bahwa mekanisme pengadaan alutsista berlangsung secara button up, dengan cara melibatkan pengguna yaitu Markas Besar Angkatan (Darat, Laut dan Udara) dalam menentukan spesifikasi jenis alutsista yang ingin dibeli. Selanjutnya, rencana ini menjadi kebutuhan operasi di Mabes TNI, dan kemudian Kemhan memproses di bawah kendali Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen). Langkah atau proses berikutnya dilakukan kontrak perjanjian pinjaman oleh Kementerian Keuangan serta pencabutan tanda bintang di DPR. Dimana hal penting dalam setiap pengadaan alutsista tetap berpedoman pada prinsip - prinsip semaksimal mungkin mengutamakan produk dalam negeri. Namun, apabila situasi itu belum memungkinkan dan terpaksa diadakan dari luar negeri, maka akan diupayakan secara G to G, produksi bersama disertai alih teknologi (transfer of technology), dilakukan off set, dijamin keleluasan penggunaannya serta penjaminan ketersediaan suku cadang.
Militer dengan alutsista berteknologi tinggi adalah kebutuhan mutlak. Militer yang kuat sejatinya dapat menjadi faktor penggentar, penggertak dan pencegah konflik menuju perang terbuka, karena kekuatan militer bisa menjadi kekuatan tawar tinggi dalam peran diplomatik.Kegarangan Indonesia dalam menggenjot modernisasi peralatan tempur serta eksotisme proses pengadaannya yang menyedot perhatian publik, merupakan dua sisi tidak terpisahkan layaknya mata uang. Sehingga, ketika berbagai kalangan menyoroti hal tersebut bukan merupakan hal negatif apalagi menjadi faktor penghambat, justeru menjadi indikator betapa rakyat mendambakan memiliki TNI yang kuat dengan peralatan modern yang mampu menghardik segala bentuk ancaman negara dan muaranya semakin memperkuat nilai kewibawaan maupun harga diri bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H