Perkembangan banyak paham dan kecanggihan tekhnologi hari ini merupakan suatu hal yang tak dapat ditepis gejolaknya. Perkembangan itu terus merambat setiap waktunya memasuki seluruh wilayah bumi serta setiap jaringan dan sel-sel dalam otak kita.Â
Sehingga siapapun yang berupaya melawan, maka ia akan teralienasi dan tidak akan menjadi bagian dari "kelompok yang banyak". Banyak negara bersaing untuk maju. Bersaing agar tak ketinggalan.Â
Mereka belajar ilmu pengetahuan, belajar tekhnologi, dan terus melakukan produksi. Lalu yang menarik adalah, bahwa seorang tokoh literasi Indonesia menyebutkan bahwa 70 persen usia produktif (pemuda) di Indonesia tidak mampu hidup di abad ke-21, yang artinya tidak akan mampu bersaing.Â
Ini bukanlah sekedar spekulasi yang mengada-ngada, melainkan hasil survey yang dilakukan pada tahun 90-an sampai 2000-an pada sekolah-sekolah di seluruh wilayah Indonesia, bahwa minat baca anak di Indonesia sangat mencengangkan. Rendah sekali.
Kebanyakan usia produktif yang kita miliki hanya akan menjadi buruh kasar baik dalam negeri maupun di luar negeri yang jelas tidak perlu memiliki ilmu yang memadai, alias sekedarnya saja sudah boleh untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang alakadarnya. Kekhawatiran kita adalah jika fenomena ini terus tumbuh subur menjadi penyakit akud yang kemudian dampak buruknya harus diperoleh oleh bangsa ini.Â
Hal ini bukan karena para pemuda yang menjadi harapan bangsa ini menolak perkembangan zaman yang tak terbendung, melainkan kelalaian mereka di dalamnya dan tertidur pulas. Menikmati menjadi konsumen dan objek yang dipermainkan oleh miskinnya kesadaran mereka sendiri.
Bukan perkembangan zamannya yang kita salahkan! Bukan pula manusia-manusia produktif dari berbagai belahan dunia yang terus bersaing karna ingin berkontribusi dan menjadi bagian dari perkembangan zaman itu!Â
Sebenarnya, kita tidak akan terdiskriminasi dan teralienasi di era serba digital ini karena ketidakmampuan kita bersaing dengan manusia-manusia yang super pintar dari seluruh penjuru dunia. Melainkan karena kegagalan kita sendiri untuk bersaing dengan diri kita sendiri. Kita tidak mampu mengalahkan ego dan lemah melawan rasa malas yang terus suka kita adopsi. Dan itulah persoalan intinya.
Persoalan inti itu sangat jarang disadari oleh kita. Sikap apatis dan rasa malas yang tinggi menyebabkan aktivitas seperti membaca buku adalah kegiatan yang buang-buang waktu saja bagi sebagian besar anak muda. Namun tentu tidak jika semua waktu yang dimiliki dihabiskan untuk bermain game online seharian.Â
Persoalan lain adalah, banyak juga kalangan anak muda kita yang aktif mengikuti setiap kegiatan-kegiatan outdoor bersama komunitas yang dibentuk. Lalu mengadakan event ini dan itu.Â
Namun sayangnya, sering sekali sebagian besar dari mereka melakukan itu tanpa memahami esensi yang kemudian tidak akan memberikan efek bermanfaat baik bagi mereka sendiri maupun bagi orang lain (masyarakat). Kegiatan yang diikuti hanya akan menjadi ajang unjuk foto dan video yang cenderung selfish di media sosial yang kemudian menuai perhatian dari banyak orang yang hanya senang duduk, tiduran, main game dan nongkrong tidak jelas.Â
Mereka jenis ini biasanya adalah orang-orang yang gampang kagum dengan hasil yang orang lain peroleh tanpa ingin memahami proses yang di lalui oleh orang tersebut dan mereka adalah orang-orang yang senang disuguhkan kepadanya makanan enak, dihidangkan ke hadapannya, disuapkan ke mulutnya bahkan mereka akan sangat senang jika kita sudi membantu mengunyahkan untuknya, sehingga ia hanya tinggal menelan dan mengeluarkannya menjadi kotoran yang hina.
Berbicara persoalan yang meliputi pemuda sebenarnya sangatlah kompleks. Sehingga dibutuhkan kerja keras dari berbagai pihak seperti melakukan diskusi-diskusi yang dapat menggugah dan membakar gelora pemuda untuk bangun dari tidur dan sadar dari kelarutan yang semu itu perlu terus digulirkan.Â
Sampai mereka sendiri bosan dengan itu dan segera membaca buku untuk dijadikan hobi baru menggantikan game online, update status yang kurang penting di medsos dan dan suka baper (terbawa perasaan) karena intens mengikuti perkembangan aktivitas keseharian para artis di instagram.
Cara lain adalah dengan mempraktikan kegiatan membaca yang unik oleh setiap komunitas pemuda maupun lembaga-lembaga swasta dan negeri di pemerintahan. Dan kegiatan itu tidak akan berhasil tanpa persediaan bahan bacaan yang memadai dan bervariasi. Nah, toko-toko buku dan siapapun yang memiliki buku yang banyak bisa ikut membagikan buku-buku kepada masyarakat (komunitas) dengan Cuma-Cuma alias sedekah.Â
Maka keterlibatan semua pihak dalam menumbuhkan budaya baca di negeri kita sangatlah ditunggu-tunggu. Mulailah dari itu, yaitu membaca. Hal kecil yang kita anggap membosankan ini adalah senjata melawan kebodohan, kemiskinan, pemimpin yang zalim, dan pengaruh buruk zaman globalisasi ini.Â
Dan yang terpenting adalah ketika kita mampu berperang dengan diri kita sendiri melawan salah satu sisi buruk diri kita, maka dengan mudah kita dapat berkontribusi dalam kecanggihan zaman hari ini.Â
Karena membaca dan menulis merupakan dua kata kunci dalam hidup. Dan hidup adalah sepenuhnya tentang "tes" dan belajar adalah kuncinya. Manusia seharusnya mau belajar.Â
Dari mulai kita bangun tidur sampai tertidur kembali adalah proses belajar. Iqra! Adalah perintah pertama dari Allah dan hukumnya WAJIB. Lalu mengapa kita seolah menjadikannya nomor sepuluh. Bukankan antara menunaikan shalat dan membaca sama wajibnya? Begitulah salah seorang tokoh literasi menyebutkan dalam bukunya yang berjudul The Rise Of Literacy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H