Tadinya saya mau berhenti total dengan urusan tulis menulis. Fokus tekuni bisnis makanan olahan. Tapi tetap gatal. Tapi apa yang mau ditulis di Kompasiana. Saya ngak mood nulis politik dan materi yang berat berat. Karena saya sudah kenyang dengan itu. Kenyang dengan konflik dan kemunafikan para politisi. Kontennya mendingan seputar pengalaman selama 12 tahun jadi wartawan. Bukan lebay, tapi sekadar share aja.
Karier jurnalistiku bermula di Kota Ambon Manise. Waktu kuliah di STAIN Ambon. Sebenarnya saya kelahiran Ciamis, tapi ke Ambon merantau untuk dagang keliling (tukang kiridit). Seperti diketahui urang Ciamis dan Tasik terkenal dengan profesi tukang kreditnya. Adalah Syam Abede Pareno yang pertama mengajariku menulis. Dia adalah GM Suara Maluku (Grup Jawapos) Pak Syam yang kini jadi seniman Surabaya ini memikat hatiku untuk jadi wartawan.
Dalam sebuah pelatihan jurnalistik kampus aku coba menjawab menjawab tantangan Pak Syam yang orang asli Pulau Seram itu. Tantangan untuk membuat sebuah reportase, dan tulisanku terpilih menjadi yang terbaik. Katanya saya punya bakat menulis. Aku juga ngak percaya punya bakat itu sebab disamping kuliah di Ambon kan aku tukang dagang keliling. Mana ada waktu baca koran dan nulis artikel.
Singkat cerita aku pun sering bikin artikel untuk kolom suara Mahasiswa. Pertama kali dimuat, senangnya minta ampun. Meskipun honornya hanya Rp 3000 saat itu. Wartawan Suara Maluku ketika itu kebanyakan adalah yang kerja nyambi. Ada yang jadi dosen, PNS dan guru. Tapi jebolan Suara Maluku sekarang sudah hebat hebat. Ada Nevy Hetharia di Sindo, Sien Luhukay dan sebagainya.
Terlalu panjang menuliskan kisah selama 13 tahun jadi wartawan. Tapi kalau direnungi. Banyak dukanya daripada suka. Apalagi kerja di Grup Jawa Pos yang semua orang tahu kesejahteraanya memprihatinkan. Tapi saya bangga dengan Jawa Pos yang bisa menularkan semangat, hemat dan pantang menyerah. Kata para senior Jawa Pos, kerja di Jawa Pos Grup itu kalau sudah tak produktif pasti dibuang seperti sampah. Meskipun ente pernah berkontribusi besar kepada perusahaan. Jadi jangan heran kalau mantan wartawan Grup Jawa Pos yang dulunya punya jabatan setelah pensiun malah memprihatinkan. Tapi memang benar adanya masa perusahaan memelihara orang yang tidak produktif. Kan faham kapitaslis mah demikian. Tenaga kerja yang sudah tak terpakai dibuang lalu diganti sama yang baru.
Nah sebelum terlambat saya mundur dari Grup Jawa Pos dan mencoba berwirausaha. Optimisme muncul ketika Bang Aqua Dwipayana memotivasiku untuk segera berani mencari jalan keluar, Ya usaha sendiri. Mandiri tak jadi wartawan Grup Jawa Pos lagi. Bang Aqua juga mantan wartawan Jawa Pos sukses jadi motivator. Cak Amuh (Abdiul Muis) juga selalu menyemangati untuk bisa mandiri. "Kalau sudah usia 40 tahun karier jadi wartawan itu susah, mana nggak dapat uang pensiun, meskipun ente pernah nyumbang ratusan juta untuk perusahaan, kalau berhenti ya seperti ayam saja, " kata temanku di Makassar.
Tapi banyak juga yang beruntung, Bambang Prayogi teman saya wartawan Radar Tasikmalaya keluar dari Radar malah jadi anggota DPRD Kota Banjar. Adang D Bokin mantan Redaktur Jawa Pos kini jadi Staf Dede Yusuf. Choliq Arief juga jadi Bupati Wonosobo, Arief Afandi pernah jadi Walkot Surabaya pokoke dan lain-lain.
Saya kurang berminat jadi politisi, saya ingin melaksanakan amanat almarhum ayah. Saat itu beliau berkata.Rezeki yang barokah itu dari berdagang dan sumbernya jelas. Dan dari 10 pintu rejeki itu hanya satu pintu untuk pegawai.
تِسْعَةُ أَعْشَارِ الرِزْقِ فِي التِّجَارَةِ
“Sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perdagangan.“
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!