Â
Terlepas hadits itu sahih atau tidak. Saya setuju rejeki dari perdagangan sangat luar biasa. Logiknya begini tukang dagang setiap hari bisa pegang uang. Pegawai ya sebulan sekali itu pun kalau gajinya utuh, belum dipotong kasbon dan cicilan. Makanya saya sangat jijik kepada orang yang meremehkan tukang dagang. Jangan anggap enteng Abang tukang bakso di Kota Banjar omzetnya rata rata Rp 300 ribu hari. Taruhlah keuntungannya 40 persen. Sisa makan dan beli rokok bisa menabung 100 ribu perhari. Rp 100 ribu dikali 30 hari sama dengan Rp 3 juta. Â Sama dengan gaji PNS golongan III a. Jadi ada benarnya bahwa PNS kaya itu patut dicurigai.
Kembali ke laptop!. Tahun 214 saya berhenti jadi wartawan Sumedang Ekspres, jabatan terakhir Pemred. Di Sumedang saya ditangkap polsi. Saat itu Awak Sumedang Ekspres (Sumeks)  ditangkap Polres Sumedang. Gara-garanya mobil hias Sumeks yang mendapat nomor urut 11 menampilkan replika Tugu Lingga. Sebuah replika monumen Sumedang di alun-alun. Di belakang replika Tugu Lingga itu terpasang replika tiga koran berukuran jumbo.
Salah satu replika koran jumbo itu memampang headline berjudul Oknum Polisi Ngamuk edisi 4 April 2012. Ketika mobil hias Sumeks melintas podium utama, rupanya Kapolres Sumedang AKBP Eka Bhakti Satria tak berkenan. Namun, sambutan hadirin sangat meriah terhadap mobil karnaval Sumeks.
Usai pulang karnaval, tepatnya di Jalan Kebol Kol, Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, mobil Sumeks diikuti mobil Satreskrim Polres Sumedang. Sekitar lima petugas polisi berpakaian preman memberhentikan mobil Sumeks. Sebelumnya, mobil Satreskrim memberi tanda dengan membunyikan klakson agar mobil hias berhenti.
Tiga petugas polisi naik ke mobil sambil menunjukkan surat perintah penangkapan. Mobil hias pun digiring ke Mapolres Sumedang di Prabu Geusan Ulun dikawal polisi.
Â
Tapi akhirnya kami dibebaskan setelah Wakapolri saat itu Nanan Soekarna mmerintahkan untuk menyelesaikannya secara damai. Pokoknya setelah kejadian itu nama Sumedang Ekspres jadi populer. Â Setelah kejadian itu secara berturut turut kami mendapat tekanan dari berbagai pihak ya terkait pemberitaan. Meskipun yang nulis adalah wartawan kalau sudah naik cetak, tanggung jawab Pemred. Yang paling alot dan menyebalkan saat berhubungan dengan salah satu ormas. Ormas tersebut nyaris berbuat arogan. Saya tak ingin menceritakan di sini, karena saya tak ingin membuka luka lama.Â
Setelah melalui perenungan dan konsultasi dengan keluarga ditambah makin seretnya kondisi ekonomi, karena aku harus bolak balik Sumedang- Ciamis. Kalau bahasa Sundana mah punya daour dua. Saya memutuskan untuk berhenti. Dan kini jualan kue di Kota Bajar. Tapi kerinduanku untuk menulis tetap ada. Tapi aku trauma takut habis manis sepah dibuah. (*)
Â