Akhir-akhir ini ‘panggung’ demo jalanan didominasi oleh para buruh yang isi tuntutannya kebanyakan menuntut kenaikan UMK (Upah Minimal Kota) yang sebelumnya rata-rata 1,5 menjadi 2,2 juta. Hal tersebut di satu sisi sangat memberi keuntungan terhadap para buruh yang kesejahteraannya kurang diperhatikan. Akan tetapi di sisi lain sangat memungkinkan bahwa dibalik semua aksi buruh yang saat ini ‘menggurita’ terutama di Pulau Jawa ada indikasi bangkitnya komunis yang nota bene lahir dari rahim sosialis.
Gerakan komunis menurut para tokoh biasanya akan berkembang dengan baik ketika kemiskinan ‘menggurita’ di segala penjuru. Atau paling tidak ketika gap antara ‘si kaya’ dan ‘si miskin’ sangat lebar. Dan hal tersebut memang terjadi di Indonesia yang meskipun mempunyai SDM yang memadai, akan tetapi tingkat pertumbuhan perekonomian tidak merata, hanya dikuasai oleh kalangan-kalangan tertentu.
Komunis yang pada waktu Orde Baru dilarang ‘hidup’ karena gerakannya selalu mengindikasikan gerakan makar terhadap keutuhan NKRI tidak menutup kemungkinan akan membalas dendam. Sebab penulis yakin pada saat ini gerakan komunis tidak mati, dan akan selalu mencari-cari kesempatan untuk bangkit kepermukaan. Dan hal tersebut perlu di waspadai, sebab gerakan komunis pada substansinya ‘tidak ada kepemilikan yang resmi’.
Sebenarnya kalau penulis sendiri tidak terlalu merasa khawatir dengan pekembangan akhir-akhir ini, karena penulis punya keyakinan bahwa rakyat Indonesia saat ini sudah cerdas-cerdas dan sudah bisa memilah dan memilih tanpa harus di doktrin oleh siapa pun, termasuk pemerintah sekali pun, yang pada waktu Orde Baru ‘sok-sok’an’ mengatur hidup rakyatnya, meskipun hal tersebut sudah masuk ke wilayah pribadi.
Akan tetapi yang penulis sangat khwatir kalau kebangkitan tersebut dapat menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat sendiri yang berujung terancamnya keutuhan NKRI yg kita cintai ini. Lihat saja bagaimana ketika para buruh melakukan demonstrasi, gerakan mereka terkesan dipaksakan dan tidak murni datang dari diri mereka sendiri. Seandainya gerakan mereka berasal dari mereka sendiri, sudah tentu aksi mereka akan dilakukan secara serentak, dan didukung oleh buruh yang lain.
Tetapi yang terjadi ketika mereka melakukan demonstrasi malah ada sebagian (untuk tidak mengatakan kebanyakan) buruh yang masih masuk kerja. Hal tersebut menandakan bahwa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh buruh tidak semua mendukungya, tersmasuk dari kalangan buruh sendiri.
Disini penulis tidak bermaksud membicarakan masalah solidaritas di antara para buruh, tapi paling tidak ketika aksi demonstrasi yang mengatasnamakan buruh, maka secara otomatis para ikut turun kejalan untuk menyuarakan aksinya.
Dan hal tersebut penulis rasa tidak akan sulit, mengingat buruh biasanya lebih gampang untuk di koordinir dan ‘mengkonsolidasi’ diri, dari pada element masyarakat lain. Semoga saja aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh memang murni dari kehendak mereka yang berasal dari hati nurani masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H