Mohon tunggu...
Danz Suchamda
Danz Suchamda Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya seorang spiritualis, praktisi meditasi, penulis. Hidup ini saya pandang sebagai sebuah meditasi yang mengalir sepanjang waktu. Dan manakala kita melihat dunia dalam persepsi termurnikan, sekaligus berani telanjang terhadap apa yang ada; maka dunia ini menjadi begitu berwarna, bercahaya, bernuansa pendar, dan menguak berjuta makna yg berlapis-lapis.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nanding Salira, Ngukur Salira, Tepa Salira

14 Februari 2012   03:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nanding Salira Kemaren ada kita sedikit singgung tentang Salat Daim atau Mulat Salira. Sebelum membicarakan tentang mulat salira, maka saya ajak kita semua utk memahami apa itu Nanding Salira. Salira itu berarti diri, raga, atau badan. Nanding adalah membandingkan. Membandingkan yang bagaimana? Perihal Nanding Salira itu begini : 1) Sangat memperhatikan diri orang-orang lain 2) Dirinya orang lain itu lalu dibandingkan dengan dirinya sendiri 3) Merasa bahwa dirinya lebih baik Jadi, nanding salira itu adalah ngrumangsani (merasa) bahwa dirinya lebih baik tanpa dengan penyelidikan atau pertimbangan yang benar. Misalkan merasa dirinya itu emas....emas berapa karat, apa emas asli atau palsu dll tidaklah diperhatikan....ajine yo pokoke....pokoknya saya/ kami lebih baik. Nanding salira ini tentu bukan cara utk menuju mulat salira. Malah berkebalikan sama sekali. Nanding salira adalah rintangan yang besar sekali bila ingin menuju mulat salira. Mulat salira sendiri adalah jalan menuju Kasunyatan. Orang yang senantiasa melakukan nanding salira itu dapat dikatakan sebagai orang yg berkubang dalam neraka setiap harinya. Semata itu karena akibat dari perbuatannya sendiri. Kasihan kan? Hla tapi nyatanya banyak yang menjalankan....apalagi di jaman sekarang terutama di kota besar. Sedari anak-anak malah diajari agar selalu menyatakan dirinya lebih hebat dari orang lain. Yang masih polos dari desa malah dianggap kurang maju, lalu dikursuskan seminar motivasi agar katanya jadi Pede (percaya diri). Lho............., percaya diri dan nanding salira itu memang mirip, tapi beda sekali. Yuk kita bahas.....:) Orang yang nanding salira itu --tidak bisa tidak--- pasti pikirannya jadi sumpek dan rupek. Sebabnya begini : Karena merasa dirinya itu serba lebih benar dan lebih baik, maka menjadi tidak menyelidiki lagi...tanpa bertanya atau menyimak baik-baik.....diterima dengan bulat-bulat...pokoke ya begitu!.....Akibatnya maka punya anggapan bahwa orang / kelompok lain itu kalah bagus atau kalah baik, karena ditandingkan dengan dirinya / kelompoknya. Ada hal baik di orang lain dia tidak mau melihatnya, tapi kalau ada hal yang jeleknya diperhatikan. Sebaliknya kalau ada hal jeleknya thd diri tutup mata, kebaikan walau kecil dibesar-besarkan. Orang lain diharuskan nuruti cara pemikiran atau aturannya yang dianggapnya paling sempurna, kalau tidak... digosipkan...bahkan dimusuhi. Hal itu diterap-terapkan dalam semua aspek kehidupannya sehari-hari. Ya pasti tidak disukai orang atau dijauhi. Sering jadi gara-gara dengan orang lain. Sisi lain dari Nanding Salira adalah sikap butarepan. Butarepan ini adalah 'rebutan sing ngarepan'....berebut untuk menjadi yang terdepan. Jadi sifatnya tidak mau kalah. Takut tersaingi. Kalau ada orang lain yang masuk ke dalam ruangan...buru-buru dia berlari untuk duduk paling depan...padahal belum tentu orang yang masuk itu mau duduk di paling depan. Tapi pikiran dirinya sudah begitu. Walaupun soal-soal itu sebenarnya hal-hal sepele. Maka kalau ada orang yang tidak sesukses dirinya, selalu dinasihatinya bahwa cara dirinya yang seperti itulah kunci kesuksesannya. Sukses itu apa tho? Apakah hanya hal-hal materi saja? Silakan didiskusikan kalau mau..... Memang ini adalah kearifan lokal kuno yang sepertinya bertumbukan dengan nilai-nilai modernitas. ---------------

Ngukur Salira Siswo Kancil : agar tidak terjebak dalam kondisi yg spt itu, maka solusinya adalah dg olah roso, melihat,merasakan, memahami, kemudian menyimpulkan bahwa rasa manusia di dunia itu sama... Daniel Suchamda : Hati-hati mas...., nanti terjebak pada jebakan lainnya yang disebut Ngukur Salira. Tidak beda jauh dengan nanding salira, hanya saja bedanya kalau ngukur salira itu begini : 1. Diri orang lain diukur dari dirinya sendiri. 2. Rasanya ketemunya : sama 3. Tanpa melalui proses introspeksi bahwa yg dipikirkan itu sejati benar ataukah salah. 4. Diri orang lain dianggap watak dan cara sikapnya sama seperti dirinya sendiri. Ngukur salira ini juga rintangan dalam mengolah diri menuju kesempurnaan. Kalau orangnya baik, maka semua orang dianggapnya sama baiknya dengan dirinya. Kalau orangnya maling, maka semua orang dianggapnya sama malingnya dengan dirinya. Misalnya : Dalam sebuah transaksi bisnis. Kalau orang itu baik, maka ia menganggap lawan bisnisnya adalah orang baik seperti dirinya. Maka kurang waspada. Dan senyatanya orang lain itu belum tentu benar2 baik. Maka jadi sering tertipu, termakan uangnya. Akhirnya merugi. Kalau yang ngukur salira ini orangnya tidak baik, maka setiap lawan bisnisnya seolah-olah selalu mau menipu dirinya. Maka ia tidak mau melakukan transaksi kalau tidak dituliskan dalam kontrak. Bahkan harus disegel meterai, tanda-tangan. Bahkan masih kurang juga harus begini begitu dan diawas-awasi setiap saatnya dengan curiga. Kalau lawan bisnisnya orang baik, paling2 lawan bisnisnya itu cuman menghela nafas panjang sambil menahan sabar. Jadi, ngukur salira ini adalah tindakan mengukur diri dengan diri, yaitu dirinya orang lain dengan dirinya sendiri. Karena disebut dengan 'diri' , maka ini adalah suatu sifat "ijen-ijen", egosentrik. Sikap ijen-ijen inilah yang menghambat seseorang untuk mencapai tujuan 'aku' yang utuh (manusia sempurna). -------------------------------- Tepa Salira 'Tepa' juga berarti mengukur, tetapi antara tepa salira dan ngukur salira itu berbeda artinya. Karena yang diukur, ukurannya dan caranya ngukur berbeda. Untuk lebih jelasnya, maka sikap Tepa Salira itu adalah begini karakteristiknya : 1. Perhatiannya diarahkan ke dirinya sendiri. 2. Dirinya sendiri diteliti, diselidiki : inginnya diperlakukan sebagai mana. 3. Orang lain diukur (di-tepa) dengan dirinya itu : sama, yaitu : bahwa orang lain tentu ingin diperlakukan seperti itu juga. 4. Berhati-hati dalam bertindak kepada orang lain, berharap bisa memberikan kenyamanan bagi orang lain, atau setidaknya tidaklah menyusahkan. Jadi, sudahlah jelas dari ketiga hal diatas, perbedaannya adalah begini : 1. Nanding Salira dan Ngukur Salira itu adalah perbuatan memeriksa ke luar (ekstropeksi), sedangkan Tepa Salira itu memeriksa ke dalam diri (introspeksi). 2. Nanding Salira dan Ngukur Salira itu semata-mata adalah untuk kepentingan dirinya sendiri. Tepa Salira itu adalah untuk kepentingan orang lain. 3. Nanding Salira dan Ngukur Salira itu dilakukan atas dasar-dasar pertimbangan yang bias (bathil) atau bahkan tanpa pertimbangan, sedangkan Tepa Salira itu atas dasar pertimbangan yang adil (obyektif). 4. Nanding Salira dan Ngukur Salira itu adalah sikap yang didasarkan atau menyebabkan sikap cara hidup yang grasa-grusu (ceroboh, tergesa-gesa, kurang pertimbangan), Tepa Salira itu mendorong suatu sikap yang berhati-hati. 5. Nanding Salira dan Ngukur Salira itu pasti menyebabkan ketidak-enakan dalam pertemanan (hubungan sosial), Tepa Salira itu menumbuhkan suasana tertib harmonis. Atasan yang biasa bersikap nanding salira, baik pintar maupun bodoh, selalu merasanya diri lebih pintar. Bawahannya selalu dianggap lebih bodoh bila dibandingkan dengan dirinya. Tentu saja bawahannya tidak akan suka dikepalai oleh orang yang biasa nanding salira....orang yang tidak menyadari / merasa bagaimana dirinya di mata orang lain. Bawahan dinilai seperti dirinya sendiri : kok tidak mau bertanya padahal pekerjaan belum paham. Ternyata si bawahan mempunya watak malu bertanya. Akibatnya si karyawan itu cepat kecewa dan tak lama bekerja kemudian pamit keluar. Atasan yang biasa bersikap tepa salira, dirinya pintar atau bodoh, tidak ngrumangsani (merasai) apa-apa. Paham dirinya sendiri dan bersikap apa adanya. Yang dipikirkannya adalah : atasan itu manusia, bawahan juga manusia....bawahannya di-tepa seperti dirinya sendiri. Dirinya bila dicacat tidak senang maka ia manakala memberi perintah atau petunjuk kepada bawahannya juga tidak mencacat. Memberi pengarahan dengan cara yang manis. Dengan demikian maka si atasan ini akan memiliki perbawa, dikasihi sekaligus disegani oleh bawahannya. Nah, sikap Tepa Salira ini adalah sikap yang mendekati pada Mulat Salira atau Salat Daim. Walaupun baru masuk ke pintunya saja. Mulat Salira sendiri adalah suatu sikap yang senantiasa eling / sadar setiap saat. Sadar jagat raya. Selalu ingat dan mengarah kepada Tuhan YME. MULAT SALIRA Mulat Salira kurang lebih artinya :
Perhatian orang harus waspada dan sadar (aware) terhadap semua bentuk pikiran, persepsi, perasaan dan kesadaran (consciousness) yang muncul....dan menyadari proses timbul tenggelamnya dan kait mengkaitnya satu sama lain di dalam batin. Menenangkan diri untuk mencapai kejernihan dalam mengamati apa yang ada di luar, apa yang di dalam dan yang dari-dalam-keluar, maupun dari-luar-ke-dalam sehingga hendaknya selalu sadar menyeluruh, waspada , apakah pikirannya penuh dengan hawa nafsu atau tidak, penuh dengan kebencian atau tidak, menyeleweng atau tidak, sudah tepat atau belum.
Salam. Mardika! ---------------- Tanya & Jawab Tanya : mungkin bisa diterapkan istilah 'bercermin', atau 'ngilo'. dimana orang bercermin untuk melihat kekurangannya. (mungkin dalam berpakaian kurang rapi, atau dlm merias wajah, bedaknya masih pating clemong.. akan diperbaiki atau dirapikan). intinya untuk menyempurnakan penampilan. kalo penampilannya sdh rapi, ya tdk perlu diperbaiki.. lha kalo dalam kehidupan , ngilo sebenarnya untuk introspeksi. artinya, melihat kepada diri kita sendiri, dimana sih kekurangan kita.. bukan untuk melihat kelebihan kita. masalahnya adalh, untuk mengakui kekurangan kita tidak mudah. tidak banyak orang yng berani untuk mengakui kekurangannya. kalo sudah berani mengakui kekurangan diri sendiri, pasti tidak berani menilai orang lain salah / lebih jelek.. tapi pada saat ngilo tadi, kita jg bisa melihat kelebihan kita, sehingga kita tidak minder. akhirnya ya jadi sakmadya wae.. ini cuma kata mbah saya lho mas daniel.. DS : Bagus mas, sepertinya anda sudah menangkap. :) Saya tambahkan....nanding salira itu adalah suatu sikap yang otomatis akan mencari kesalahan-kesalahan orang lain, karena diri selalu merasa lebih. T : sudah menjadi nilai yg dianggap wajar dalam kehidupan sosial masyarakat mulai dari sekolah sampai tempat pekerjaan...mereka yg merasa kalah jadinya stres atau sampai bunuh diri...kalau ditelisik memang sistem seperti ini kejam..pantas saja ada yg bilang spiritualitas tak akan bisa hidup dlm modernitas, keduanya bertentangan...(tp apa iya menumbuhkan spiritualitas berarti meninggalkan kehidupan modern?) DS : Jangan dikacaukan dengan percaya diri , mba. Coba bayangkan bagaimana tindak landuk seorang ksatria vs lawannya yg pengecut licik. Kita lihat bahwa seorang ksatria penuh percaya diri tetapi tidak nanding salira. Ia merasakan kebaikan itu ada dimana-mana termasuk di kursi belakang. Ia merasa aman dan nyaman utk menerima apa saja hasilnya.Tetapi tidak demikian bagi seorang pengecut....senyatanya dirinya merasa selalu kurang, merasa selalu terancam. Oleh karena itu, nanding saliranya adalah suatu kompensasi psikologis belaka. T : Betul mas Daniel..karena secara alamiah sifat manusia itu kan selalu ingin unggul dari lainya....celakanya sudah tau dia tidak bisa mengungguli orang lain lantas mencari cari kelemahan orang lain, bahkan memfitnah orang lain agar jelek di mata orang dan untuk menutupi kekurangannya....... DS : Benar mas T, maka saya katakan di artikel itu bahwa pada senyatanya, dia sudah selalu tiap hari berkubang di nerakanya sendiri (karena merasa tidak puas, iri, dengki, kemrungsung, siren, mangkel, dsb) T : agar tidak terjebak dalam kondisi yg spt itu, maka solusinya adalah dg olah roso, melihat,merasakan, memahami, kemudian menyimpulkan bahwa rasa manusia di dunia itu sama....ini sadalah salah satu model yg diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram, mudah-mudahan bisa menajdi referensi. DS : Ijin saya tambahkan juga, bhw tidak hanya Ki Ageng Suryomentaram mas, tetapi juga Ronggowarsito, dsb di tanah Jawa. Sedangkan yg dari luar negeri mengajarkan serupa adalah J.Krishnamurti, Chogyam Trungpa, Dalai Lama, Ramana Maharshi, Rama Krishna, dsb dsb.... mereka2 yg mengajarkan kesadaran batin menuju manusia utuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun