Sudah lama Japar memendam hasrat hendak melihat mobil sedan. Maklum, kampungnya teramat udik. Jalanannya nyaris belum pernah dilintasi mobil sedan. Pabila ada mobil yang melintas, itu pun cuma truk rongsok pengangkut kayu bakar yang datang Senin dan Kamis, dengan suara mesin yang memekakkan gendang telinga
Di kala itu, Japar hanya tahu mobil sedan dari sinema akhir pekan di layar televisi hitam-putih milik tetangga. Melihat mobil sedan dari kejauhan, bagi Japar seolah mengamati malaikat Ridwan dalam wujud benda, dan gairah ingin menghampirinya barangkali seperti gairah Musa yang hendak bertemu Tuhan di bukit Thursina.Â
Mujurlah bagi Japar, karena di sebuah petang, mobil sedan mengkilat tiba-tiba terparkir di depan halaman rumahnya. Keluarga kecil saudara perempuan ibunya sedang berlibur. Mereka tinggal di kota provinsi dan pulang kampung dengan mengendarai sedan baru. Japar pun mendekatinya, mengendap-endap dengan segenap rasa penasaran.Â
"Jangan kau pegang. Parr! Itu mobil mahal. Lecet sedikit bisa tergadai dua musim panen sawah ibumu untuk menggantinya," bentak suami dari kakak perempuan ibunya. Hardikan yang disertai suara gigi bergemeretuk disertai dengan mata membelalak.
Dengan Seketika itu mental Japar menciut. Gairahnya lumpuh tiba-tiba. Rasa ingin tahunya berubah jadi gemetar dan gigil di lututnya. yang hanya bisa ia bereskan dengan melarikan diri secepat mungkin. Perlu dicatat. Japar baru mendekat dengan cara mengendap-endap, belum sungguh-sungguh bersentuhan dengan bodi sedan itu!Â
Sejak itu Japar tidak lagi berani mendekat bila mobil sedan itu pulang di waktu lain. Sedapat-dapatnya ia hanya coba memicingkan mata sebelum menaiki tangga kayu rumahnya. Niat untuk membusungkan dada di hadapan kawan-kawan sembari menceritakan pengalaman menaiki sedan baru meski dalam keadaan mesin mati ia kuburkan hidup-hidup.Â
Setiap kali keluarga saudara perempuan ibunya pulang, Japar lebih suka tidak berada di rumah. Ia lebih gembira saat bergabung dengan teman-teman sesama penggembala kambing, atau kawan-kawan sesama penggila adu ayam.Â
Dalam kesendirian di tengah padang ilalang, sambil menunggu kambing-kambing piaraannya kenyang, pikiran Japar kerap berimajinasi. Ia membayangkan kambing-kambing itu kelak akan berkembangbiak. Japar akan mengantinya dengan beberapa ekor sapi muda. Dan, setelah sapi-sapi itu beranak-pinak, akan tibalah saatnya Japar menggantinya dengan sebuah mobil sedan.Â
Di kampung itu pula Japar berubah menjadi pribadi yang ganas. Apa pasal? Lagi-lagi keluarga saudara perempuan ibu yang sedang pulang kampung. Rumpun tebu yang setiap hari ia siangi, dan kelak setelah besar dan memanjang akan ia tebang. Akan ia jadikan bekal penyangga dahaga bersama teman-teman penggembala kambing. Setelah matang dan siap untuk dipanen, yang tersisa dari tebu itu hanya akar dan tunggul-tunggulnya. Tiga orang anak dari saudara perempuan ibu telah mendahuluinya.Â
Mereka menyantap potongan-potongan tebu sambil berjingkrak-jingkrak dengan segenap kegirangan anak-anak kota yang sedang piknik. Tak ayal Japar pun murka. Bujukan ibu tiba. Masih ada banyak rumpun tebu. Tak usah risaukan tebu-tebu yang sudah ditebang. Japar memadamkan nyala kemarahan. Tak ada protes. Tak ada keributan. Tapi Japar, pemilik paling absah dari rumpun tebu yang ditebas begitu saja, tak bisa mengikhlaskan kesewenang-wenangan itu, bahkan hingga ia tumbuh dewasa.Â
Beberapa hari kemudian ada makan malam bersama. Keluarga saudara perempuan ibu Japar tampak lahap. Suami dan tiga anaknya yang rakus alang-kepalang seperti orang yang tidak makan tiga hari. sampai berkeringat saking lezatnya hidangan di meja makan.Â