Mohon tunggu...
Dany Saragih
Dany Saragih Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Just read my blog. That's me.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Serenada Natal

25 Desember 2011   17:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:46 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Aku ingin nyanyikan lagu

Buat orang-orang yang tertindas

Hidup di alam bebas

Dengan jiwa yang terpapas

Dengan jiwa yang terpapas

Kenapa harus takut pada matahari

Kepalkan tangan dan halau setiap panasnya

Kenapa harus takut pada malam hari

Nyalakan api dalam hati,

usiri segala kelamnya

Aku ingin nyanyikan lagu

Bagi kaum-kaum yang terbuang

Kehilangan semangat juang

Terlena dalam mimpi panjang,

di tengah hidup yang bimbang

Di lorong-lorong jalan, di kolong-kolong jembatan

Di kaki-kaki lima, di bawah menara

Kau masih mendekam derita

Kau masih mendekam derita

Aku ingin nyanyikan lagu

Tanpa kemiskinan dan kemunafikan

Tanpa air mata dan kesengsaraan

Agar dapat melihat surga,

agar dapat melihat surga



Jika Yesus hidup di masa kini, lirik lagu Serenada ini pastilah akan menjadi lagu favoritnya bukan lagu rohani popular yang sering dengan heboh kita bawakan dalam kebaktian (-setidaknya demikianlah menurut penulis, haha..). Betapa tidak, itulah cita-cita Yesus akan dunia yang didambanya, surga tanpa kemiskinan, tanpa kemunafikan, tanpa air mata dan tanpa kesengsaraan. Dalam kisah perjalanan hidup Yesus, pergaulan dan intisari pelayanannya adalah  ‘melulu’ menyasar pada lingkungan orang miskin dan tertindas.

Dan di penghujung tahun 2011 ini, Natal kembali  menyapa kita umatnya. Sejujurnya, bukan perayaan-lah yang semata kita nantikan, melainkan sudah sejauh mana perwujudan cita-cita yesus pada kehidupan saat ini. Kata kunci dalam perayaan Natal, kelahiran Yesus, adalah “pengharapan” tiap manusia akan kemerdekaan, kebebasan dan kebahagiaan  manusia dari kemiskinan, penindasan dan kesewenangan.

Baru ini Indonesia kembali dikejutkan oleh seorang Sondang Hutagalung yang dengan kekuatan tekadnya akhirnya membakar diri tepat di depan Istana Negara. Sungguh tragis, diluar nalar manusia normal apa yang dilakukan Sondang, teman, yang akhirnya meninggal dunia karena aksinya itu. Seantero nusantara membicarakan Sondang, mulai dari mencibir tindakannya sampai menghormati keputusan serta keyakinannya. Kita ada di posisi apa?

Siapakah Sondang Hutagalung? Mengapa saya menghubungkannya dengan Natal, ketertindasan, kemiskinan, air mata, dan kesengsaraan? Patut kita ingat, seorang Yesus juga adalah orang yang mati di kala ia masih dipandang cukup muda. Secara nalar dan logika manusia normal, Yesus bisa saja menghindar dari hukuman salib jika seandainya ia ‘urung’ menyuarakan ajaran kasih dan kemanusiaannya. Tetapi, Yesus punya pilihan lain dan berpegang teguh pada ajaran kasih yang diyakininya, karena itulah kebenaran. Secara politis, ajaran Yesus dicibir oleh orang-orang disekelilingnya walau tak sedikit yang mengagumi bahkan memuja Yesus. Dan pada akhirnya, mereka terganggu pun memilih untuk menyalibkan Yesus sehingga ia meninggal di kayu salib.

Saya pribadi sangat tidak menganjurkan tindakan bakar diri untuk dilakukan karena bertentangan dengan nurani kemanusiaan yang saya yakini. Hanya saja, biarlah kematian Sondang menjadi momentum bahwa pernah ada seorang Sondang Hutagalung yang sedang frustasi akibat abainya institusi yang seharusnya menjamin hak asasi manusia yaitu Negara. Biar bagaimana apa yang disuarakan oleh Sondang tak boleh menjadi sia-sia bahkan harus turut kita perjuangkan, sesuai juga dengan ajaran cinta kasih dan kemanusiaan yang diteladankan oleh Yesus, Sang Pejuang Kemanusiaan dan Keadilan. Dengan demikian nyatalah makna dari Natal, kelahiran Sang Pendiri Gereja itu sebagai sebuah lahirnya harapan baru. Harapan bagi kaum miskin papa dan teraniaya, harapan bagi keadilan dan kesejahteraan bisa dihadirkan di bumi tercinta. Natal harusnya dihadirkan untuk itu, untuk perwujudan misi Yesus lahir ke dunia yang begitu dicintainya.

Pada akhirnya, kita berkata “Selamat jalan sobat, Sondang Hutagalung! Selamat datang Yesus, Sang Kepala Gerakan kasih manusia di bumi!.” Mari kita renungkan hari Natal, bukan pesta pora, bukan untuk kepuasan jemaat gereja, bukan untuk ajang pertunjukan kemewahan dunia dan apalagi hanya untuk membahagiakan mereka yang duduk di kursi terdepan pada acara pesta natal. Jauh lebih dalam, kita wujudkan Yesus yang hadir untuk para pemilik Surga! Amin.

-tanpa kemiskinan dan kemunafikan; tanpa air mata dan kesengsaraan; agar dapat melihatsurga-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun