"Aku istirahat dulu," kata Juleha sambil melepas sepatu dan jaket.
"Bapakmu itu cemen. Masa emak dibiarkan aja saat istrinya yang pengkhianat ngreog, Ha."
Dilihatnya fisik emak yang utuh tanpa luka sedikit pun. Juleha berpikir keras tentang kemungkinan persengkokolan antara emak dan tetangga yang meneleponnya.Â
"Emak nggak terluka? Jadi, semua kabar semalam itu boongan?"
"Eng ... a--nu ... kamu tahu kalau Yu Linik itu,"
"Tega bener sama aku!" Juleha merajuk. "Emak tahu kan kalau hari ini harusnya aku ikut seleksi jadi supervisor?"
Hati gadis cantik tersebut seketika terpotek karena merasa dibohongin oleh emak dan tetangganya. Padahal, dia sudah mengorbankan impiannya dan harus berakhir sia-sia. Dia mengabaikan tatapan emak yang penuh penyesalan lalu memilih masuk ke kamar. Dia merasa sangat bodoh karena masuk jebakan emak.
Hingga sore hari, Juleha tetap melakukan aksi tutup mulut. Dia acuh terhadap sapaan emak, tida mau makan, minum, dan mandi. Dia memutuskan ke rumah Mak Linik daripada terus memendam rasa dongkol kepada emaknya.Â
"Kamu mau ke mana?" tanya emak lirih.
"Ke rumah Mak Linik." Leha menjawab dengan nada dingin. "Mencari aura yang lebih jujur."
Dia meninggalkan emak yang salah tingkah lalu mengendarai motornya dengan wajah cemberut. Ketika bertemu dengan tetangga yang menelponnya, dia pun tetap bungkam. Wika dan Mak Linik menyambutnya dengan sumringah, sementara bapak menatap dengan sorot yang susah diterjemahkan.