Mohon tunggu...
Danu Dean Asmoro
Danu Dean Asmoro Mohon Tunggu... -

Follow my twitter @danudean

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Partisipasi Dalam Proses Pengambilan Kebijakan Lingkungan

7 Mei 2012   04:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:36 1973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Danu Asmoro ( FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta )

*This paper for discussion in Communication and Environmental class,

lecturer : Yohanes Widodo, M.Sc.

INTRODUCTION

‘Green discontent’ ini mengarah pada double discontent. Kita mengambil contoh awal adalah adanya polusi yang disebabkan oleh perusahaan – perusahaan berskala besar, yang lahir dikarenakan adanya infrastruktur baru yang dimunculkan ( misalnya adalah adanya pembangunan infrastruktur jalan yang baru ). Discontent ini mengarah pada suatu protes ketika keputusan akan dilaksanakan dan bagaimana jalan menunju keputusan tersebut diambil. Warga negara dan para environmentalist menyerukan adanya berbagai gerakan perubahan yang mengarah pada dampak lingkungan, tetapi masih saja adanya kekurangan partisipasi dari publik.

Partisipasi adalah salah satu kata kunci dalam melakukan pendekatan solusi untuk permasalahan – permasalahan komunikasi lingkungan. Partisipasi yang diharapkan adalah yang bersifat komunikatif dan tidak bersifat tentative. Harapannya partisipasi dalam komunikasi lingkungan dapat dilakukan oleh berbagai pihak, dengan cara – cara krtitis, dan dapat dilakukan untuk proyek sustainable development.

PEMBAHASAN

1.Pesan politis di belakang “ the green discontent”

The green discontent adalah suatu bagian dari kritik publik. Kritiknya mengarah terutama pada sistem kapitalisme dan peranan negara yang cenderung tidak seimbang. Radikalisasi misalnya merupakan keterlibatan politik yang terjadi secara besar – besaran pada tahun 1960 dan 1970an. Hal tersebut menjadikan suatu issue menjadi terhubung dengan keterlibatan partisipasi politis dari pihak – pihak yang merasa dirugikan. Keyword mendasar dalam hal tersebut adalah partisipasi. Perbedaan level partisipasi ada pada bagaimana organisasi dan konten yang disampaikan mengenai kritik yang diajukan serta tergantung pada bagaimana inovasi yang dilakukan.

Hal tersebut menyebabkan bahwa antara lingkungan dengan partisipasi tidak memungkinkan untuk melepaskan diri dari perdebatan mengenai permasalahan lingkungan, dan bagaimana sikap dan praktek partisipasi merubah dan menutup substansi dari lingkungan itu sendiri. Misalnya bagaimana suatu kebijakan justru kontradiktif dengan kebijakan lingkungan. Kita dapat mengambil contoh yaitu bagaimana proyek pembangunan infrastruktur dari pemerintah yang membuat semakin banyaknya peluang untuk bertambahnya jumlah kendaraan, sehingga menciptakan permasalahan lingkungan yaitu solusi dari asap – asap kendaraan tersebut.

2.Penguatan partisipasi dan gradually institutionalized gradually

Berbagai kajian dilandasi oleh berbagai macam perspektif yang berbeda – beda dalam memahami lingkungan, jadi wajar ketika terjadi perdebatan mengenai issue – issue lingkungan. Green discontent terdapat pada protes – protes yang dilakukan diantara warga negara, penduduk lokal ( local residents ), gerakan para environmentalists, dan perlawanan lain yang berhubungan dengan peremehan dampaklingkungan dari aksi yang diperdebatkan, dan dengan kekurangan karakter demokrasi, dalam penggunaan proses memutuskan mengenai aksi yang akan dilakukan.

Komplain yang pertama adalah berasal dari sedikitnya atensi yang diberikan oleh masyarakat dalam mengkaji impak mengenai lingkungan. Perkembangan saat ini, pembangunan yang semakin berangsur – angsur ( banyak ) dan adanya institusionalisasi kebijakan mengenai lingkungan, merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat dilepaskan.Hal tersebut juga termasuk instrument – instrument dan pembangunan yang berusaha untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan.

Poin ini mengarahkan kita untuk melihat bagaimana legislasi yang melindungi aspek – aspek bisnis, yang kemudian justru dapat memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan. Penggunaan bahan – bahan tertentu misalnya, akan diberikan ijin oleh negara ( baik dalam tingkat nasional ataupun antar – negara ), yang kemudian mengesahkan praktek – praktek tertentu dalam perusahaan, misalnya ijin dumping.

Dengan kata lain, tuntutan yang diekspresikan dalam protes mengenai lingkungan, untuk tetap melihat dan menilai lebih baik dampak – dampak lingkungan dari aktivitas – aktivitas yang berbeda, terutama inovasi dari adanya instrument kebijakan lingkungan yang mengoperasionalisasikan ‘the environmental interest’. Institusionalisasi mengenai lingkungan harusnya efektif terhadap solusi yang mungkin akan diterapkan untuk lingkungan. Kedua, patisipasi dari penduduk sekitar atau lokal dan stakeholder lainnya, harusnya diperbolehkan ( dengan adanya perlindungan hukum ) serta adanya sistem yang memperbolehkannya. Aplikasinya bukan hanya mengenai kebijakan lingkungan saja, akan tetapi juga dalam regulasi perencanaan spasial. Perencanaan spasial mencakup perencanaan struktural dan perencanaan regional ).

3.Energi Nuklir : kasus percobaan dan rintangan dari partisipasi lain

Energi nuklir berbahaya, tidak aman, tidak demokratis, dan menimbulkan konsekuensi ketidakterimaan dari lingkungan politik dan sosial. Sistem pembangunan enegeri nuklir membangun stasiun – stasiun kekuatan nuklir yang sampai sekarang masih terdapat perdebatan antara policy ( pemerintah yang mengesahkan adanya tindakan dan aktivitas tersebut melalui kebijakannya ) dengan gerakan – gerakan lingkungan. Kasus – kasus nuklir yang berdampak ke lingkungan kita dapat ambil sampel yaitu Fukushima dan Chernobyl. Kasus keduanya menempatkan rakyat sipil sebagai korban, mereka sama sekali tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan ( ketika kejadian – kejadian di luar dugaan terjadi ). Sayangnya partisipasi dari masyarakat ataupun stakeholder untuk menentang keberadaan pengolahan nuklir, masih sedikit.

Anehnya kampanye – kampanye nuklir ini selalu dicoba untuk mempersuasi rakyat sipil, misalnya untuk mempertahankan negara, bahan dan alat yang digunakan tidak berbahaya ( dengan kalkulasi ilmiah ) dan lain sebagainya. Ironisnya keberadaan misalnya stasiun nuklir ini mengancam hak hidup seseorang yang masuk dalam element hak asasi manusia. Kita memahami bahwa energi nuklir ini membawa dampak ekonomi tetapi juga menciptakan resiko lingkungan ( yang lebih besar daripada manfaatnya ekonomisnya ). Kedua, pengembangan teknologi tersebut tidak dipahami oleh berbagai kalangan. Ketiga adalah bagaimana energi nuklir mempunyai kontribusi dalam hujan asam. Partispasi politik dibutuhkan untuk mempengaruhi kebijakan nuklir di suatu negara atau antar negara.

4.Efek dari patisipasi gaya baru

Banyak partisipasi di bidang lingkungan yang gagal mempengaruhi atau merubah kebijakan politik di bidang lingkungan. Absennya warga negara adalah salah satu alasan mengapa partisipasi tersebut gagal. Selanjutnya instrument partisipasi juga gagal dalam memberikan mekanisme mengenai partisipasi kumulatif, individual, dan group yang berpengaruh terhadap politik. Jika terdapat peluang untuk melakukan partisipasi secara besar – besaran, justru warga negara merasa tidak tertarik, tidak tersentuh, dan akhirnya tidak termobilisasi. Selain itu juga kadangkala pemerintah mengabaikan hasil penyelidikan yang terprosedur serta partisipasi yang terprosedur dari gerakan – gerakan lingkungan.

Partisipasi tetap harus dilakukan sebagai aplikasi dari konsep demokratis. Efek lain dari partisipasi adalah efek yang tidak disengaja terjadi akibat peran gerakan environmentalist dalam memberikan strateginya mengenai menjaga lingkungan. Banyak pendekatan environmentalist yang melalui politik yang kemudian memunculkan berbagai pertanyaan. Sifat radikal yang diterapkan oleh berbagai organisasi lingkungan juga menimbulkan pertanyaan tersendiri. Gaya – gaya gerakan lingkungan juga menciptakan power baru, misalnya sudah seperti organisasi – organisasi bisnis berskala nasional atau multi nasional ( yang mempunyai kantor pusat dan kantor cabang ).

5.Partispasi dan sosialisasi dari kebijakan politik

This political context also tinged the debates and conflicts on environmental issues: protests were also aimed at the government’s decision-making process, even if the issue concerned was connected with the location plans or management of a particular business. Environmental protests were seldom aimed at trade and industry itself but rather at the government, which was expected to manage the environment on everyone’s behalf. Environmental policy was the responsibility of the government. Even the new instruments for participation related mainly to the transparency and accessibility of government decisions.(Leroy, Pieter & van Tatenhove, 2002 :p.174 )

Konteks politik juga mewarnai perdebatan dan konlik mengenai issue lingkungan yang sedang berkembang : protes juga berasal dari tujuan proses pengambilan kebijakan dari pemerintah, jika issue terkonsentrasi dan terhubung dengan perencanaan lokasi atau manajemen dari dunia bisnis. Protes mengenai lingkungan kebanyakan berada pada bagaimana keberadaan perdagangan industri itu sendiri daripada pemerintah. Kebijakan lingkungan merupakan suatu bentuk tangungjawab dari pemerintahan. Lengkap sebagai instrument baru dari adanya partisipasi yang berhubungan dengan adanya transparansi dan kemudahan mengakses kebijakan – kebijakan pemerintah yang sudah diambil.Pada poin ini, penekanannya bukan hanya mengkrtitk industri dan gerakan environmentalist lingkungan yang cenderung radikal, tetapi juga bagaimana pemerintah ‘memainkan’ kebijakan – kebijakan tertentu mengenai lingkungan. Pada era modern ini terdapat redefinisi mengenai relasi dari pemerintahan, masyarakat sipil, dengan pasar. Deregulasi dan privatisasi merupakan manifestasi bagi pemerintah, sehingga pemerintah harus mensosialisasikan atau transparan terhadap masyarakat sipil, hal ini salah satunya dipengaruhi oleh pasar ( modernisasi itu sendiri ). Hal tersebut pada akhirnya mempengaruhi pada kebijakan – kebijakan publik yang diterapkan oleh pemerintahan, harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Terdapat tiga konsep menarik dalam poin ini, yaitu participation, societalisation, dan marketisastion, ketiganya berbeda.

a.Participation. Pertama, konsekuensi dari partisipasi hanyalah bersifat tentativeatau temporer( sementara atau tidak sepenuhnya mutlak seseorang/ group akan berpartisipasi secara terus – menerus ). Dalam partisipasi, partisipan tidak hanya tertuju pada pembangunan yang telah dilaksanakan terakhir, tetapi bagaimana partisipasi yang dilakukan dapat digunakan untuk pembangunan berikutnya, sehingga dapat dikatakan ongoing. Sifat partisipasi biasanya akan mengarahkan suatu pembangunan di masa yang akan datang, dengan harapan lebih baik dan adanya perubahan.

b.Societalisation dari kebijakan – kebijakan lingkungan, berimplikasi pada perubahan strategi manajemen,dari perintah secara langsung, sering juga top – down, dimana pemerintah mempunyai inisiatif untuk melengkapi pihak – pihak yang lainnya, hal ini menyebabkan terciptanya bentuk baru pemerintahan yang lebih komunikatif. Ini berarti bahwa warga negara dan organisasi non – pemerintahan tidak hanya reaktif, melainkan bertindak aktif. Mereka dilibatkan dalam persiapan suatu kebijakan, perencanaan, hingga implementasi kebijakan. Dalam poin ini pemerintahan harus sering melakukan mediasi dengan pihak – pihak seperti organisasi non – pemerintahan dan warga negaranya itu sendiri.

Kedua, societalisation juga mempunyai implikasi terhadap aktor yang akhirnya lebih dikenal daripada janji – janjinya. Maksudnya adalah bagaimana suatu leader mampu memberikan perbuatan/ kontribusi nyata, bukan hanya janji – janji semata. Dalam poin ini, seorang aktor akan lebih dikenal ketika ia bertindak, daripada pernyataan – pernyataan ‘omong – kosong’ yang ia katakan. Hal ini juga berimplikasi pada adanya mekanisme dalam pengambilan keputusan. Pemimpin tidak begitu saja dalam mengambil suatu keputusan.

Detail mengenai societalisation adalah sebagai berikut :

Apart from the established interest groups, which now include the environmentalist movement, the government now calls upon the non-organised citizen, local residents, local associations and groups. Today, government actors, together with actors from society (and the market, see below) are the co-producers of the environmental policy that results from their consultations. Public participation and support, coproduction, public-private teamwork and consensus are the keywords of this approach, and network-like constructions are the most often used organisation forms. ( Leroy, Pieter & van Tatenhove, 2002 : p.176 )

Kutipan tersebut menjelaskan secara rinci bahwa model societalisation ini mendirikan adanya kelompok – kelompok pemangku kepentingan. Kelompok pemangku kepentingan ini seperti : gerakan – gerakan lingkungan, warga negara, penduduk lokal/ sekitar, asosiasi lokal, dan group – group yang ada. Saat ini, aktor ( pemerintah ), secara bersama dalam bekerja dengan aktor ( masyarakat ), dan juga market ( pasar ) yang pada akhirnya secara bersama berkoordinasi untuk menentukan suatu kebijakan mengenai lingkungan. Pemangku atau kelompok kepentingan tersebut dapat dimintai konsultasi, ketika pemerintahan akan menentukan suatu kebijakan. Partisipasi publik dan dukungan, pengelolaan produksi, kerja tim secara privat dan publik serta konsenus adalah kata kunci dalam pendekatan ini, selain itu juga dengan adanya jaringan seperti suatu bangunan yang digunakan dalam bentuk organisasi.

Untuk memperjelas peranan masing – masing dalam pendekatan societalisation, adalah sebagai berikut :

a.Pemerintah mengadopsi berbagai macam peran, dimana pemerintah bertindak sebagai fasilitator,

b.Para agen yang merepresentasikan kepentingan – kepentingan dari berbagai pihak – pihak tertentu dalam masyarakat, dan kepentingan ekonomi ( co – financier ), dan tubuh dari politik secara sungguh – sungguh mengangkat suatu bentuk tanggungjawab.

Berbagai macam konsekuensi dari societalisation adalah terjadinya proses pengambilan keputusan yang interaktif. Meskipun demikian, pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik. Societalisation ini memberikan ruang, dimana pihak lain mendapatkan power untuk menentukan kebijakan mengenai lingkungan. Kritik dari pendekatan ini adalah bagaimana partisipasi yang dimaksud, dapat memperlambat suatu pengambilan kebijakan. Tetapi pendekatan ini juga unggul dalam menghubungkan antara partisipasi, konsultasi, dan mediasi.

Partisipasi dan marketisation dari kebijakan mengenai lingkungan

This marketisation stands for a variety of connected indicators. In the first place, as has already been stated, there is a shift in governance style, management strategy and the set of policy instruments used. Instead of resorting to direct regulation alone, the government also introduced market-conform instruments to entice citizens and businesses to change their ways in terms of the environment. By introducing pricing mechanisms, citizens and businesses are no longer addressed exclusively as ‘legal subordinates’, but also as consumers and manufacturers. As parties in the market, they have their own roles to play and their own responsibilities within the operative market mechanisms.( Leroy, Pieter & van Tatenhove, 2002 : p. 179 )

Marketisation berdiri pada jenis yang terhubung oleh berbagai macam indikator. Tempat pertama adalah bagaimana suatu negara, style pemerintahan, strategi manajemen, dan set dari penggunaan instrument kebijakan. Pemerintahan mengenalkan bagaimana instrument pasar juga dapat merubah lingkungan, dengan adanya berbagai macam bisnis yang dilegalkan. Dengan adanya mekanisme harga yang dikenalkan kepada rakyat, maka antara warga negara dengan bisnis tidak cukup dialamatkan sebagai ‘legal subordinates’, tetapi juga para konsumen dengan pengusaha pabrik. Pasar membawa dan memainkan peran dalam kepemilikan tanggungjawab yang dioperasionalisasikan sesuai dengan mekanisme pasar.

Kedua, marketisation ini secara langsung merujuk bahwa pemerintahan mulai meninggalkan apa yang disebut sebagai tanggungjawab, dengan mempertimbangkan berbagai pertimbangan dari pasar. Dalam tahap ini sebagian pendekatan akan menjadi liberal, dan sebagian orang juga akan kembali memperebutkan apa yang disebut sebagai privat. Dalam pasar, privatisasi dan liberalisasi sudah menjadi sesuatu yang wajar. Sektor perkembangan ekonomi ini, secara nyata mengancam keberadaan lingkungan. Pemerintah dalam tataran ini melakukan implementasi dan melakukan monitoring.

Konsekuensi dari privaitsasi dan liberalisasi adalah keuntungan ekonomi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kebijakan – kebijakan mengenai lingkungan. Disini tanggungjawab akan dimaknai secara berbeda, oleh aktor – aktor ekonomi. Selain itu juga terdapat power yang saling menguntungkan antara pemerintahan dengan dunia bisnis. Salah satu sisi pemerintah mendapatkan keuntungan ekonomi, dan di sisi lain binsis hanya menggunakan kebijakan lingkungan sebagai formalitas.

Lingkungan, partisipasi, dan power : antara ‘green polder model’ dan demokratisasi yang lebih lanjut

Kebijakan mengenai ligkungan tidak terlepas dari bagaimana dua kunci yaitu lingkungan dengan partisipasi yang dilibatkan. Partisipasi kemudian terbentuk dan adanya suatu substansi yang berubah mengenai lingkungan. Secara lebih luas, pada tahun 1970an di Barat gencar mengenai gerakan lingkungan yang dilakukan secara politik radikal. Para environmentalist gencar memberikan protes dan tekanan ( pressure ) kepada berbagai pihak yang secara nyata memberikan ancaman terhadap lingkungan. Partsipasi ini kemudian dikenal dengan institusionalisasi, dikarenakan pendekatannya lebih menggunakan cara – cara politis, termasuk pada strategi untuk mempengaruhi bahkan merubah proses pengambilan kebijakan mengenai lingkungan. Pendekatan ini menjurus pada bagaimana proses pendekatan dilakukan terhadap pihak pemerintahan yang dianggap memegang kendali dan mempunyai power.

Kemudian cara radikal tersebut berubah sekitar pertengahan tahun 1980an, dimana memberikan aktor lain ( selain pemerintah ) dalam memformulasikan dan mengimplementasi kebijakan mengenai lingkungan. Keberadaan pasar dengan NGO’s adalah salah satu aktor lain yang mempengaruhi kebijakan mengenai lingkungan. Dukungan dan penerimaan publik menjadi sangat penting dalam era ini. Namun demikian, tidak ada instrument yang memuaskan dalam kebijakan politik di dalam konteks societalisation dan marketisation.

Kajian yang dilakukan pada sekitar tahun 1990an juga gagal dalam melihat bagaimana kekuatan ( power ) yang seimbang, misalnya antara warga negara dengan organisasi dalam mempengaruhi proses pengambilan kebijakan mengenai lingkungan. Instrumen dari partisipasi tidak hanya terletak pada adanya kekuatan atau power yang seimbang, adanya cara yang lebih demokratis, atau mengagungkan bentuk perubahan yang ideal. Perubahan juga harus terjadi pada bagaimana adanya pembaharuan mengenai infrastruktur dan instrument politik mengenai kebijakan lingkungan.

Terdapat dua bagian mengenai desain dari instrument partisipasi yaitu ‘green polder model’, atau demokratisasi lebih lanjut yang menghubungkan antara pasar dengan masyarakat. Seperti dalam kutipan sebagai berikut :

The success of the socio-economic polder model, based on a basic consensus between government, trade and industry and the trade union movement, inspires some people to put forward a similar type of model for environmental policy. ( Leroy, Pieter & van Tatenhove, 2002 :p. 183 )

Kesuksesan dari socio-economic polder model adalah berbasis konsensus diantara pemerintahan, perdagangan, dengan industri dan gerakan serikat dagang, yang memberikan inspirasi untuk mengambil atau melanjutkan tipe yang serupa dari model kebijakan lingkungan. Misalnya bagaimana suatu perusahaan yang melaksanakan program CSR dan bermanfaat bagi lingkungan.

Pemikiran lain adalah adanya partisipasi dengan model ‘green polder model’ dengan adanya konsultasi terhadap para elite kelompok kepetingan, dengan tidak mempedulikan para supporter. Poin ini menjelaskan bahwa konsensus diantara para elit pada akhirnya merupakan bentuk non – partisipasi.

KESIMPULAN

Satu kutipan yang memperjelas kesimpulan adalah :

In other words: if trade and industry truly wishes to accept the responsibility for environmental policy, then it must justify itself in this respect. What Greenpeace achieved with regard to Shell’s Brent Spar

should be the logical behaviour of businesses in the future. Eco-labels, environmental reports, green energy and other instruments are then only the tentative initial steps in a process of far-reaching politicisation and democratisation of the market and society. ( Leroy, Pieter & van Tatenhove, 2002 : p. 183 )

Dengan kata lain, jika perdangangan dan industrI mengharapkan adanya tanggungjawab untuk kebijakan lingkungan, hal tersebut harus dibarengi dengan memberikan alasan ( membenarkan ) tindakan tersebut. Apa yang telah dicapai Greenpeace dalam memandang Shell’s Brent Spar harusnya dijadikan perilaku yang sesuai logika dari praktek – praktek bisnis di masa yang akan datang. Label – label yang menggunakan lingkungan sebagai jargon, laporan mengenai lingkungan, energi hijau, dan instrument lainnya kemudian hanya menjadi langkah inisial yang tentative ( hanya temporer saja ) dalam proses lebih jauh untuk mencapai politisasi dan demokratisasi dari adanya pasar dengan masyarakat. Jadi pelaku – pelaku pasar saat ini harus bersifat terbuka dan lebih mudah diakses ( apabila masyarakat memerlukan )dalam proses pengambilan kebijakan mengenai lingkungan. Hal ini tidak melupakan berbagai pihak lain seperti kontribusi masyarakat, gerakan lingkungan, dan pemerintahan itu sendiri.

REFERENSI

Driessen, P. P. J. & Glasbergen, P ( ed ). 2002. Greening Society : The Paradigm Shift In Ducth Environmental Politics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. ( Leroy, Pieter & van Tatenhove, Jan P. Environment And Participation The Shifting Significance Of A Double Concept, Chapter 8, p. 163 – 184 )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun