Stoicism sering disebut Stoa, adalah nama sebuah aliran atau Mazhab filsafat Yunani kuno yang didirikan di kota Athena oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Markus Aurelius hidup di abad kedua Masehi, mengikuti filsafat Stoa, ia sibuk beraktivitas sebagai pemimpin politik dan peperangan. Bagaimana mungkin filsafat yang biasanya dianggap membuat orang lari dari dunia justru dipraktikkan di tengah kancah politik dan peperangan? Markus Aurelius justru membutuhkan filsafat untuk melindungi kedamaian jiwanya. Lewat latihan konkret dan menulis setiap hari refleksi atas pengalamannya, Markus Aurelius membangun jiwanya seperti benteng yang kokoh. Mengikuti Epictetus (seorang budak Romawi) ia selalu berlatih memilah " apa yang tergantung padaku dan apa yang tak tergantung padaku " supaya terhindarkan dari penyakit jiwa (yaitu emosi-emosi negatif).
Jadi stoicism adalah sebuah filsafat Yunani kuno yang mengajarkan tentang bagaimana agar kita tetap stoic dalam lingkungan yang dinamis dan penuh kejutan ini, stoicism menekankan tentang bagaimana kita menemukan kebahagiaan dalam diri, sehingga kita bisa menjalani hidup yang bahagia dengan menerima apapun yang terjadi sebagai kehendak alam, bagi orang beriman ini seperti menerima takdir tuhan atas diri kita. Filosofi ini sempat populer pada masanya sampai dengan zaman sekarang, filosofi ini bisa populer karena sangat relevan digunakan oleh semua orang, siapapun itu kaya ataupun miskin, berkuasa atau menjadi budak, semua kalangan bisa menerapkan jalan hidup stoic dan juga tidak lekang oleh waktu atau cenderung tidak berlawanan dengan ideologi, agama dan kebanyakan aliran.
dalam stoicism semua hal yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah netral, tidak ada positif dan negatif, tidak ada hal baik dan hal buruk, yang menjadikannya sesuatu yang positif dan negatif atau baik dan buruk adalah interpretasi kita terhadapnya bagaimana kita menafsirkan, bagaimana pendapat atau pandangan kita terhadap situasi tersebut
Mungkin kalian berfikir, bukankah kekhawatiran dalam kehidupan itu sebuah hal yang wajar dan normal? Untuk apa dipusingkan atau dipikirkan secara berlebihan. Menurut penulis kekhawatiran adalah sesuatu hal yang biasa dan jika berlebihan seharusnya dikurangi karena membutuhkan energi serta terkadang mengeluarkan biaya. Apa saja biaya dan energi yang dikeluarkan dari kekhawatiran?
1. Menghabiskan waktu dan juga uang. Saat kita khawatir soal perkuliahan, orang tua, keuangan, atau sosial politik negara dan bahkan masalah percintaan tanpa menghasilkan solusi, kita sudah membuang waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat. Tidak hanya membuang waktu, kekhawatiran juga bisa menghabiskan uang, apabila rasa khawatir tersebut membuat kita mengeluarkan uang untuk hal-hal yang (dianggap) menenangkan pikiran, padahal tidak efektif. Misalnya kita khawatir akan persepsi orang tentang diri kita yang berpenampilan kurang menarik sehingga kita membeli barang yang orang lain sukai.
2. Menghabiskan energi pikiran. Berpikir yang berlarut-larut pastinya menimbulkan rasa kekhawatiran yang lebih, ini adalah aktivitas yang membutuhkan energi. Artinya setiap kalori energi tubuh yang dipakai untuk khawatir adalah kalori yang tidak bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif.
3. Mengganggu kesehatan tubuh. Masih banyak orang yang memisahkan antara kesehatan "pikiran" dan "tubuh" , seolah-olah apa yang terjadi di pikiran tidak mempengaruhi kondisi tubuh fisik kita. Para ilmuwan kesehatan menemukan bahwa pikiran dan kesehatan tubuh memiliki hubungan dua arah yang saling mempengaruhi, dalam ilmu pengobatan psikosomatis dijelaskan bahwa apa yang terjadi di otak kita bisa mempengaruhi badan secara keseluruhan, maka tidak heran orang yang sedang stres mengalami tegang leher, sakit kepala dan juga sakit lambung karena adanya keterkaitan.
Kemarahan menurut stoic muncul akibat tabrakan keras antara harapan dan kenyataan yang tidak sesuai, maka untuk mengatasi itu kita harus belajar untuk mengurangi harapan pada apapun yang terjadi dalam kehidupan. Terkadang hal yang diekspetasikan berbanding terbalik dengan realita dan akhirnya ini yang membuat kita stres, tidak bahagia dan cemas.
Kalau kita berekspektasi hal yang mau kita lakukan itu berjalan dengan baik, tetapi ternyata tidak berjalan dengan baik, kita bakalan lebih sedih dibandingkan ketika hal yang kita lakukan tidak berjalan dengan baik dan kita tidak mengekspetasikan apapun, jadi ekspetasi itu sebenarnya sangat berpengaruh terhadap emosi kita dan bahkan bisa membunuh kebahagiaan kita.
 Menariknya dibandingkan berfikir positif atau berekspektasi hal-hal positif, filosofi stoicism justru menganggap bahwa ekspetasi yang lebih baik adalah ketika kita memiliki ekspektasi yang terburuk dalam melihat masa depan. dan yang menjadi pertanyaan kok ekspetasinya buruk? Nanti jadi negative thinking dan malah bikin stres dong, jadi sebenarnya berfikir negatif itu agar kita siap dalam menghadapi apapun hal buruk yang akan terjadi didalam kehidupan kita, misalnya kita mengikuti lomba badminton kalau kita mengikuti filosofi stoicism dibandingkan kita mengekspetasikan hal-hal baik seperti akan menang nanti didalam pertandingan, permainan kita bagus, menang telak dan dapat pujian banyak orang, lebih baik kita punya ekspetasi terburuknya seperti kita akan kalah dalam pertandingan, kalah telak dan malah dapat cacian dari penonton. Jadi dipikirkan dulu kemungkinan terburuknya karena, misalnya nanti tiba-tiba kalah dan bahkan kalah telak dalam pertandingan, kita tidak akan kaget dan sekecewa itu, sebab toh ekpektasi kita udah buruk sejak awal tetapi kalau kita tiba-tiba menang dan bahkan menang telak, permainan kita bagus lalu dapat pujian dari banyak orang, kita bahkan jadi lebih bisa bersyukur lebih atas kemenangan yang kita raih, kenapa? Karena kemenangan itu melebihi ekspektasi kita. Walaupun berekspektasi buruk pandangannya terkesan pesimis justru suasana yang diciptakan dalam diri kita itu sangat positif yang membuat kita fokus pada proses dan hal yang sedang kita jalani bukan terfokus pada hasilnya yang mana hasil itu tidak bisa kita kontrol, jadi kebahagiaan itu bisa dipengaruhi oleh ekspetasi kita, memang terkesan pesimis tapi dibalik itu, ini sebagai latihan untuk menjadi optimis terhadap diri kita bahwa kita bisa melalui apapun dan semua yang terjadi pasti ada hikmahnya buat nanti dan bukan hanya sebatas ikhlas tapi juga ikhtiar.
Stoicism ini sebenarnya menawarkan kita suatu cara untuk menafsirkan ketidakmampuan kita mengubah keruwetan hidup sehari-hari, ia tidak menawarkan jalan pada kita untuk menyelesaikan keruwetan hidup tapi ia menawarkan jalan bagi kita untuk menafsirkan ulang sehingga keruwetan hidup itu bisa diterima, jadi ketika seseorang tidak bisa mengubah suatu keadaan yang bisa dilakukan adalah mengubah interpretasi tentang suatu keadaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H