Sidang MK telah selesai. Hasil akhirnya pun sudah diketahui semua orang. Yang tertinggal hanya tanda tanya, mengapa gugatan kubu koalisi merah-putih ditolak seluruhnya? Ketika kita menyaksikan di layar kaca, pengacara-pengacara kubu koalisi merah-putih menyatakan bahwa hakim-hakim MK mengabaikan saksi serta bukti yang mereka ajukan, malahan hakim MK terus mempermasalahkan noken. Seperti kita ketahui bahwa sistem noken adalah sebuah sistem yang hanya diberlakukan di tanah Papua (dan tidak di  semua tempat diberlakukan) yang mana suara pemilih berdasarkan hasil musyawarah antara warga dengan kepala sukunya.
Sejak sengketa pilpres mulai disidangkan di MK, kita dapat saksikan kubu merah-putih begitu membombastis pernyataan-pernyataannya. Mereka mengatakan bahwa mereka mempunyai bukti hampir 10 kontainer tentang kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Mereka mengklaim bahwa kubu mereka telah memenangkan pilpres dengan selisih yang tidak sampai 1% dan itu juga menurut perhitungan dari data center mereka.
Mereka juga mengajukan saksi-saksi yang kontroversial. Salah satunya adalah Novela. Novela yang mengidentikkan diri sebagai gadis dusun yang lugu dan bersahaja dari tanah Papua, ternyata adalah seorang kader Gerindra yang turut mengajukan diri dalam pertarungan pileg beberapa waktu yang lalu. Dari penelusuran medsos, terutama facebook ternyata Novela bukanlah gadis biasa. Pergaulannya sangat luas, hingga dapat melayani wawancara dengan salah satu stasiun TV Australia. Bukan itu saja, saksi-saksi yang lain juga selalu mengucapkan kata 'katanya', 'menurut laporan rekan saya', 'menurut pendengaran saya' yang tentu saja apa yang mereka ungkapkan menjadi hanya angin lalu bagi para hakim MK.
Dari saksi-saksi yang mereka ajukan serta data-data yang mereka kumpulkan yang mana kapabilitasnya diragukan itu, mengapa mereka berani menggugat KPU ke MK? Menurut saya dalam hal ini bukan masalah berani atau tidak berani. Tetapi, pihak koalisi merah-putih memang sedang 'sakit hati' kepada KPU. Mereka menuding KPU curang, KPU memihak, Pilpres yang paling buruk sepanjang masa. Terus, mengapa mereka bisa menuding KPU sedemikian rupa? Hanya satu sebab, karena saking transparannya pilpres kali ini sehingga mereka tidak dapat mengutak-atik hasil pilpres dalam perhitungan suara baik di tingkat paling bawah hingga di tingkat nasional.
Iya, karena transparansi dari KPU inilah yang menyebabkan pihak-pihak yang ingin berbuat curang dalam pilpres ini menjadi mati kutu. Form C1 yang diunggah di situs KPU serta disebarkan juga lewat situs kawalpemilu.org menyebabkan semua orang dapat mengakses data-data tersebut tanpa dihalang-halangi. Sehingga perhitungan suara di tingkat atas yang tidak sesuai dengan form C1 akan segera diketahui oleh masyarakat. Otomatis bagi mereka yang ingin coba-coba berbuat curang menjadi tak berkutik.
Karena niat yang tidak kesampaian dan akhirnya menjadi kalah, maka satu-satunya jalan untuk memenuhi hasrat berkuasa adalah dengan menggugatnya ke MK, walaupun mereka sudah menyadarinya bahwa gugatan ke MK Â juga akan percuma, karena MK sekarang tidak bisa disuap. Tentu hakim-hakim MK sekarang tidak ingin hidupnya akan berakhir di hotel prodeo seperti Akil Mochtar yang telah menerima suap dari berbagai sengketa pilkada.
Sekali lagi, salut untuk para hakim MK yang telah menjaga integritas mereka sebagai hakim MK. Maju terus dan jangan tergoda oleh harta, tahta apalagi wanita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H