Nilai-nilai kebangsaan (nationality values) dalam Sila Ketiga Pancasila yang berbunyi "Persatuan Indonesia" memiliki makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia terdiri dari beragam etnis, suku bangsa, agama, ras, dan sebagainya, persatuan tetap harus dijunjung. Jangan sampai bangsa ini terpecah belah. Dalam nilai kebangsaan juga terkandung nilai patriotisme dan cinta tanah air, yaitu setiap rakyat Indonesia memiliki kewajiban untuk bekerjasama dan rela berkorban untuk kepentingan tanah air tercinta. Adaptasi Kebiasaan Baru adalah infrastrukur pemulihan ekonomi dan sosial, namun tetap mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan (humanity values) dan kebangsaan (nationality values) dengan berbasis digital.
Filsuf teoritikus Cicero memberikan maxim hukum Romawi yang tetap relevan pada perkembangan teknologi informasi yaitu "ubi societas ibi jus" bahwa masyarakat membentuk hukumnya. Sehingga masyarakat yang berinteraksi dinamis secara teknologis di ekosistem dan industri  digital secara ipso facto membentuk rezim hukum yang sui generis yaitu Hukum Digital (Lex Digitalis) sebagai konstruksi konseptual legal terhadap pemanfaatan teknologi digital.
 "Laws, norms, markets, and codes regulates behavior in cyberspace."
 Lawrence Lessig, The Laws of Cyberspace-1998
Lex Digitalis Indonesia
UU ITE sebagai Lex Digitalis terus berupaya mengantisipasi dampak dari revolusi dan konvergensi dari Teknologi Informasi Komunikasi pada abad digital dengan melakukan pendekatan legislasi, regulasi, dan swa regulasi. Pendekatan Legislasi (legislative approach) adalah upaya untuk membentuk peraturan perundang-undangan sebagai dampak dari tren konvergensi digital  dari Teknologi Informasi Komunikasi (ICT). Solusi legislasi dalam mendefinisikan rezim hukum baru, atau membentuk kerangka pengaturan, atau regulasi yang baru adalah upaya antisipatif terhadap implikasi konvergensi dan arah kebijakan masa depan dari peradaban manusia.Â
Sebagaimana yang dinyatakan secara tegas oleh Menteri Komunikasi dan Informatika R.I. Rudiantara pada 2016 bahwa  "Undang-Undang ITE (UU Nomor 11 Tahun 2008) yang merupakan UU pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang menjadi pionir dalam meletakkan dasar pengaturan dan perlindungan dalam bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik."  Â
Lex Digitalis sebagai normative order in internet atau norma-norma ketertiban virtual di internet diperkenalkan sebagai konseptual hukum oleh Stefan Kadelbach dan Klaus Gunther dalam Law without the State-Recht ohne Staat. (Matthias C. Kettemann, The Normative Order of the Internet: A Theory of Rule and Regulation Online A Theory of Rule and Regulation Online, Oxford University Press, 2020) Negara perlu hadir melalui Lex Digitalis sehingga tidak ada perbuatan hukum di ruang virtual yang tidak terjangkau oleh yuridiksi normatif.Â
Jurgen Habermas seorang filsuf hukum dan teknologi menegaskan pula bahwa adanya perubahan komposisi eksistensial legal terhadap masyarakat yang berinteraksi dan memanfaatkan internet, tidak menjadikan "pudar" nya peran negara dan hilangnya kedaulatan konstitusional. (Jurgen Habermas, Im Sog der Technokratie, Frankfurt, 2013)
Efektifnya norma legislasi dalam penerapannya memerlukan perhatian akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan dalam pelaksanaannya sebagaimana ditegaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Karenanya pengertian Lex Digitalis sebagai hukum yang memadai tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatau perangkat azas-azas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.  (Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerjasama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006) Lex Digitalis dalam pendekatan lembaga dan proses memiliki fungsi hukum sebagaimana diuraikan oleh Sjachran Basah secara lebih konstruktif dengan "Panca Fungsi Hukum" yaitu:
- Direktif bahwa Lex Digitalis berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara;Â
- Integratif bahwa Lex Digitalis berfungsi sebagai pembina kesatuan bangsa;Â
- Stabilitatif bahwa Lex Digitalis berfungsi sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;Â
- Perfektif bahwa Lex Digitalis berfungsi sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; danÂ
- Korektif bahwa Lex Digitalis berfungsi baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
Sjachran terlebih khusus memberikan pemahaman dalam korelasi dan interaksi administrasi/tata kelola/governance dari pemerintah dan/atau regulator dengan warga negara dan para pemangku kepentingan lainnya. (Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, Penerbit Armico, Bandung, 1986)Â
Kehadiran Negara untuk melalui Lex Digitalis merupakan manifestasi dari Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, terdapat empat tujuan atau cita-cita ideal Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu: (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) meningkatkan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Fungsi Lex Digitalis menurut Teori Hukum Pembangunan adalah untuk mencapai ketertiban dan keadilan yang merupakan fungsi hukum secara tradisional, serta hukum juga berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat yang dipengaruhi teknologi digital.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!