Mohon tunggu...
Danny Rahman
Danny Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan UI

Halo! Danny Rahman merupakan seorang mahasiswa keperawatan yang sangat tertarik pada riset ilmiah di bidang kesehatan, senang mengikuti berbagai perlombaan ilmiah, dan ingin selalu berkontribusi positif dalam perkembangan bidang kesehatan di Indonesia!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Inklusifitas Peran Perawat Laki-laki dalam Stereotipe Feminisme di Keperawatan

22 Desember 2023   20:57 Diperbarui: 22 Desember 2023   20:59 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keperawatan, sebagai profesi yang sebagian besar diidentifikasi dengan perempuan, sering kali dipengaruhi oleh stereotipe gender yang mengakar kuat dalam masyarakat. Bukan suatu rahasia umum lagi, profesi ini seringkali dilihat oleh masyarakat luas sebagai profesi untuk perempuan. Muncul juga istilah feminisme, yang menganggap bahwa sikap perawat sangat identik dengan sikap alami perempuan seperti lemah lembut dan perhatian. Hal ini dapat membuat laki-laki tidak tertarik berkarir di keperawatan. Padahal apabila dikaji lebih dalam, terdapat berbagai peran dan keuntungan bagi laki-laki dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat. Oleh karena itu, tulisan ini akan menjelajahi sejumlah ide utama terkait stereotipe perawat laki-laki, peran mereka di setting klinis, dan keuntungan yang dapat mereka bawa baik untuk diri mereka sendiri maupun bagi klien dan institusi.

Keperawatan telah digambarkan sebagai pekerjaan feminim sejak munculnya gaya pelatihan keperawatan oleh Nightingale pada pertengahan abad ke-19 yang pada saat itu lebih banyak wanita daripada pria untuk menjadi perawat (Barrett-Landau, 2014). Pada masa kini, hal ini dibuktikan dengan data WHO (2019) yang menyatakan bahwa distribusi perawat laki-laki hanya berada diangka 21% dari total perawat yang ada di Asia Tenggara pada tahun 2018. Selain itu, hanya sepertiga dari jumlah perawat di Indonesia adalah laki-laki (Wiyata, 2023). Hal ini mengimplikasikan bahwa tenaga perawat laki-laki masih menjadi minoritas dan jumlahnya perlu ditingkatkan untuk mencapai keberagaman dan kesetaraan.

Karakteristik seperti caring dan compassionate (penuh kasih), secara stereotipe dipandang sebagai hal feminim yang hanya identik dengan perempuan (Eagly & Wood, 2012). Padahal karakteristik tersebut adalah nilai yang mendasari profesi perawat. Dalam penelitian Kaur, et.al (2023) mengenai pandangan orang lain terhadap perawat laki-laki, banyak peserta yang memandang bahwa perawat laki-laki memiliki karakteristik kehangatan yang tinggi seperti caring. Peserta, baik mahasiswa non keperawatan dan keperawatan, menggambarkan perawat laki-laki sebagai orang yang memiliki karakteristik emosional yang positif (misalnya, peduli, penyayang, ramah) yang padahal secara tradisional karakteristik tersebut dianggap feminin dan dikaitkan dengan perempuan. Disamping itu, orang lain memandang bahwa perawat laki-laki lebih percaya diri dan berani, yang mana hal ini merupakan karakteristik yang dinilai lebih maskulin. Hal ini menandakan bahwa walaupun laki-laki bekerja di ranah yang dianggap lebih feminim, kinerja mereka dalam menjadi perawat tidak terpengaruh dan mereka masih bisa menunjukan sifat maskulin mereka.

Meskipun menjadi minoritas, perawat laki-laki memiliki peran kritis dalam praktik klinis yang mungkin berbeda dari persepsi masyarakat umum. Kemampuan fisik dan keberanian mereka dapat bermanfaat dalam situasi-situasi tertentu, dan kehadiran mereka dapat memberikan perspektif yang berbeda dalam tim perawatan. Penting untuk memahami bahwa perawat laki-laki tidak hanya mendukung pasien secara fisik tetapi juga memberikan dukungan emosional dan perawatan holistik (Kaur et.al, 2023).

Mao, et.al. (2021) dalam penelitiannya memaparkan bahwa peran perawat laki-laki di setting klinis antara lain adalah mereka memiliki kekuatan manajemen fisik dan mekanik, serta sebagai fasilitator hubungan. Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan manajemen fisik lebih besar daripada perempuan, perawat laki-laki pada penelitian ini mengatakan bahwa mereka sering dimintai pertolongan oleh rekan sejawatnya untuk mengangkat pasien atau benda tertentu. Tentu saja mereka menilai bahwa hal ini dapat mereka pakai untuk lebih memiliki pengalaman baru dan membantu menambah hubungan yang baik dengan atasan perawat. Selain itu perawat laki-laki yang bekerja di unit hemodialisis mengakui bahwa mereka sering juga dimintai pertolongan untuk mengurusi alat-alat hemodialisis karena rekan sejawatnya lebih yakin bahwa laki-laki lebih baik dalam berurusan dengan mesin daripada wanita.

Meskipun laki-laki merupakan minoritas dalam keperawatan, perawat laki-laki tidak menemukan tantangan yang berarti dalam menjalin hubungan, bahkan mereka merasa diterima sebagai anggota tim. Penyebabnya adalah jika ada beberapa orang dalam tim, suasananya akan berbeda. Pria cenderung lebih humoris daripada wanita. Selain itu laki-laki terkadang diminta oleh rekan perempuan mereka untuk memecahkan situasi sulit dengan pasien. Contohnya adalah terkadang perawat wanita terlalu lembut dengan suara rendah, lalu terdapat pasien pria yang tidak mendengarkan mereka misalnya menolak untuk keluar dari ruang gawat darurat. Lalu perawat laki-laki akan menerapkan pendekatan yang lebih maskulin dan tegas sehingga pasien akan lebih mendengarkan perawat laki-laki (Mao et.al, 2021).

Selain itu, menurut penelitian yang sama Mao, et.al (2021), perawat laki-laki akan mendapatkan berbagai keuntungan di setting klinis antara lain yang pertama adalah mereka lebih berpotensi untuk diminta melakukan perawatan ke pasien dengan jenis kelamin yang sama. Perawat pria lebih diharapkan oleh beberapa pasien pria, terutama ketika perawatan kesehatan harus dilakukan di area privasi tubuh, seperti area perineum, sehingga dapat meningkatkan skill para perawat laki-laki itu sendiri. Keuntungan kedua adalah mereka memperoleh dukungan yang tinggi untuk mengejar pengembangan pendidikan. Perawat laki-laki menyatakan bahwa mereka memiliki harapan yang lebih tinggi dari kepala perawat serta masyarakat daripada perawat perempuan. Selain itu hal ini didorong oleh campuran motivasi diri dan tekanan luar seperti ambisi karir serta tuntutan menafkahi keluarga. Sehingga hasilnya adalah perawat laki-laki berpotensi memiliki jenjang karir dan/atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan perawat perempuan.

Dapat disimpulkan bahwa profesi ini tidak hanya untuk perempuan. Meskipun masih menjadi minoritas, keberadaan perawat laki-laki dapat memberikan kontribusi, dan membuktikan bahwa sifat-sifat seperti kepedulian dan kehangatan tidak terbatas pada gender. Peningkatan jumlah perawat laki-laki bukan hanya soal inklusi, tetapi juga pengakuan akan kontribusi yang dapat mereka bawa ke dunia keperawatan. Dalam konteks profesionalisme, penting untuk membuang berbagai stereotipe negatif, dan memberikan peran yang lebih besar bagi perawat laki-laki dalam keperawatan. Menciptakan lingkungan yang mendukung semua perawat tanpa memandang jenis kelamin adalah langkah penting yang dapat dilakukan untuk menuju profesi keperawatan yang lebih inklusif dan profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Barrett-Landau, S., & Henle, S. (2014). Men in Nursing: Their Influence in a Female Dominated Career. J Leadership Instruction. 2014;13(2):10–3.

Eagly, A. H., & Wood, W. (2012). Social role theory. In Handbook of theories of social psychology (Vol. 2, pp. 458–476). Sage. https://doi.org/10.4135/9781446249222.n49

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun