"Piye kabare le, isih enak zamanku tho" (gimana kabarnya, masih enak zamanku toh), pasti kita tidak asing dengan poster, spanduk atau bahkan stiker yang bertuliskan kalimat tersebut dengan gambar mantan presiden Soeharto dengan senyum khasnya. Tulisan ini entah darimana awalnya dan siapa pencetusnya memang masih belum ada yang mengakui secara tegas, akan tetapi ketika tadi melihat berita di televisi dan sempat menjadi tema dialog di salah satu televisi swasta, maka asumsi saya menjadi makin mendekati kenyataan yaitu bahwa slogan atau kalimat ini dikeluarkan oleh keluarga mantan presiden tersebut yang ternyata masih memiliki "pengaruh" di partai bergambar pohon beringin tersebut. Bahkan tanpa ragu, sang ketua umumpun yang saat ini dicalonkan sebagai capres partai yang hingga kini "belum pernah" menjadi oposisi tersebut mengungkapkan kalimat yang maknanya hampir mirip dalam salah satu kampanyenya.
Apakah tidak boleh Golkar melakukan kampanye dengan menggunakan pendekatan romantisme masa lalu dengan mengenang masa pemerintahan orde baru ? Bagi penulis, itu merupakan hal yang lumrah, karena memang dari partai inilah dahulu Soeharto berkuasa. Akan tetapi, jika tidak salah ingat, saat itu Akbar Tandjung saat memimpin Golkar keluar dari "krisis kepercayaan" masyarakat menyatakan bahwa partai Golkar pasca reformasi berbeda dengan Golkar era orde baru. Hal itu dibuktikan dengan Golkar tetap menjadi peringkat kedua setelah PDIP dalam Pemenang pemilu 1999 dengan perolehan sekitar 22 % di bawah PDIP (sumber : kpu.go.id). Bahkan pada pemilu berikutnya tahun 2004, Golkar keluar sebagai pemenang untuk pemilu legislatif. Hal ini tentu menunjukkan bagaimana masih kuatnya pengaruh Golkar di masyarakat saat itu. Hal inilah mungkin yang menjadi patokan bagi Golkar untuk sekarang menjadikan "romantisme orde baru dengan slogan enak zamanku" diusung menjadi tema kampanye demi menarik simpati masyarakat.
Namun demikian, Golkar memang perlu mempertimbangkan beberapa hal diantaranya ialah hampir 30 % atau sekitar 50 juta orang pemilih adalah pemilih muda yang tidak mengalami masa "kekuning emasan orde baru". Mereka hanya mendengar orde baru enak segala sesuatu murah, tidak banyak demo, segalanya berlangsung nyaman, tapi tanpa merasakan juga bahwa pada masa itu bagaimana kehidupan berdemokrasi dibungkam dan rakyat tidak bebas berbicara. Selain itu, pada masa orde baru mulai marak praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang membuat rakyat dibuai dalam kondisi kenyamanan semu karena semuanya berlandaskan hutang dan bukan kemampuan sendiri. Menjadi sebuah pertanyaan sebenarnya dari model kampanye ini, seperti yang penulis dengar saat salah satu pengamat politik (dalam dialog di televisi swasta tersebut) menyatakan apakah dengan mengembalikan romantisme Golkar pada masa orde baru justru menunjukkan ketidakpercayaan diri dari Golkar ? Bukankah elit partai Golkar bukan merupakan orang-orang yang kreatif dan berpikiran progresif, lalu mengapa harus mengusung tema kampanye romantisme ala orde baru tersebut ?
"Kaca depan seharusnya menjadi pandangan utama dalam berkendara karena melihat jalan yang ada di depan dan tujuan yang ingin dicapai dan bukannya justru memandangi terus kaca spion yang hanya bisa melihat ke belakang dan merupakan jalan yang sudah dilalui"
18 Maret 2014
Danny Prasetyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H