Masih ingat dengan istilah "petugas partai" yang mulai sering muncul saat Presiden Jokowi masih menjadi calon presiden yang diusung oleh  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Pemilu 204 lalu ? Istilah tersebut mungkin sudah lama dan merupakan hal yang wajar bagi salah seorang kader dari parpol jiika menugaskan kadernya dalam eksekutif maupun dalam lembaga legislatif. Meski demikian, istilah tersebut tentu menimbulkan pro kontra, manakala sesudah sang kader terpilih (apalagi menjadi pemimpin bagi bangsa yang tentunya harus mengayomi tidak hanya parpol pendukungnya tetapi parpol yang juga tidak memilihnya. Salah satu pepatah yang sering muncul adalah "loyalitas kepada partai berakhir manakala loyalitas kepada negara dimulai". Tentu hal inilah yang harusnya menjadi pegangan bagi kader maupun siapapun yang terpilih menjabat sebagai pejabat publik, dan tentu saja parpol pendukung harus pula memahami filosofi tersebut dan bukannya justru memaksakan bahwa kader tersebut adalah milik mereka untuk selamanya.Â
Betul bahwa kader yang terpilih sebagai pemimpin merupakan kader dari parpol tertentu yang diberi mandat oleh partai untuk berjuang dalam pemilu. Namun demikian, jika kemudian calon tersebut terpilih, maka orang tersebut bukan lagi menjadi milik parpol, tetapi menjadi milik masyarakat (publik) sehingga disebut sebagai"pejabat publik dan bukan pejabat partai ataupun petugas partai." Mungkin bagi sebagian orang tidak mempermasalahkan dengan perbedaan istilah tersebut, akan tetapi jika ditelaah lebih dalam tentu akan menemukan perbedaan yang signifikan, contohnya : jika pejabat publik maka seseorang tersebut tentu bekerja dan bertanggung jawab kepada publik, tetapi jika petugas partai tentu dirinya bertanggung jawab kepada sang pemberi mandat yaitu partai politiknya dan biasanya dalam parpol, sebagian besar keputusan akan diputuskan oleh sang ketua umum.
Menonton tayangan ulang Mata Najwa dengan tema Merebut Jakarta, di akhir sesi salah seorang narasumber yang berasal dari partai Golkar mengungkapkan hal menarik tentang makna pemimpin bagi sebuah partai politik yaitu sebagai mitra partai dan bukan petugas partai. Pernyataan tersebut tentu saja menyindir salah seorang petinggi PDIP yang juga sekaligus merupakan narasumber dalam acara tersebut, karena dalam PDIP yang sering didengungkan bahwa setiap calon pemimpin baik itu sebagai eksekutif maupun legislatif merupakan petugas partai. Istilah "mitra partai" terkesan lebih menghargai bagi seseorang yang kemudian terpilih menjadi pejabat publik dibandingkan istilah petugas partai. Lepas dari makna dan tujuan dari istilah tersebut sebenarnya sama saja yaitu bahwa pemimpin yang terpilih tetap akan melaksanakan program kerjanya sesuai dengan ideologi partai politiknya tentu hal tersebut bukan menjadi masalah. Akan tetapi, kesan menghargai sang kader yang kemudian terpilih menjadi pejabat publik dengan menggunakan istilah mitra partai tentu sangat terasa, seperti contoh di bawah ini :
 Presiden Jokowi merupakan "Mitra Partai PDIP", bandingkan dengan kalimat Presiden Jokowi merupakan "Petugas Partai PDIP"
Dalam pandangan penulis tentu sebagai pernyataan awal yaitu presiden sebagai mitra partai lebih memberikan penghargaan kepada status presiden sebagai pemimpin rakyat dan bukan hanya seorang kader partai. Bersyukur Presiden Jokowi bukanlah petugas partai tetapi petugas rakyat Indonesia yang memberikan kepada dirinya mandat sebagai presiden (perlu diingat yang memilih Jokowi sebagai presiden bukan dari partainya saja). Salah satu bukti bahwa Presiden Jokowi bukanlah petugas partai ialah saat melakukan reshufle terakhir kemarin, presiden terlihat cukup independen dalam menentukan pilihan pembantunya sendiri, setelah sebelumnya beberapa kader partai pendukungnya menuntut menteri BUMN diganti, akan tetapi hal tersebut tidak digubris oleh presiden Jokowi, karena dirinya bukanlah petugas partai tetapi petugas rakyat Indonesia.
Tayangan Mata Najwa memang bukan membahas tentang mitra partai ataupun petugas partai, namun soal bagaimana sikap PDIP sebagai partai dengan kursi terbanyak di DPRD DKI Jakarta belum menentukan calon pemimpin yang akan diusungnya. Menjadi pertanyaan sebenarnya, apakah karena masih bingung untuk menunjuk siapakah "petugas partainya" ? Mengapa bingung, karena jika PDIP pada akhirnya mengusung Ahok sebagai calon gubernur dalam Pilkada DKI 2017, maka sebenarnya PDIP sudah sadar dengan resikonya bahwa Ahok bukanlah tipe petugas partai seperti dalam konsep PDIP, sehingga jika Ahok terpilih (lagi) sebagai gubernur, maka tentu yang akan dijalankannya adalah program yang sudah dimilikinya dan bukalah keinginan dari parpol pendukungnya, karena sekali lagi Ahok pun sudah menegaskan dirinya bukan petugas partai, tetapi pengabdi masyarakat dan mitra partai.
7 Agustus 2016
dny
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H