Mohon tunggu...
Hamdan Bin H.Muhaimin
Hamdan Bin H.Muhaimin Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Mbok Inah

12 Juni 2013   09:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:09 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kilatan cahaya menyambar-nyambar dari balik langit menyematkan ketakutan yang luar biasa karena petirpun tak ragu memecah gendang telinga manusia dimalam itu. Mbok inah dengan tekunnya masih menangisi nasib anaknya yang menyedihkan. Tangisan seorang ibu yang tak pernah terbayangkan olehnya akan nasib anaknya kini. Jajang.
Mbok masih mengingat saat-saat romantisme bersama jajang waktu di kampung dulu. Waktu jajang sedang mengolah tanah di ladang, mbok antarkan serantang nasi putih hangat, ikan asin dan sambal terasi. Waktu mbok sakit, jajanglah yang setia memijiti mbok hingga terpulas. Juga waktu jajang menyukai gadis, mboklah tempat curhat terbaik yang dimiliki jajang.
Teringat memori 5 tahun lalu. Riuhan stasiun yang disesaki manusia bercampur dengan deru mesin mesin kereta waktu ba'da ashar itu adalah saat-saat terakhir ia masih mengenal anaknya, jajang. Jajang yang dulu.
"Nak, kamu yakin mau merantau ke jakarta?"
"Iya mak. Kata orang di jakarta kita bisa jadi orang sukses dan kaya mak"
"Tapi apa kamu siap nak, disana kan hidupnya keras..."
"Iya, mak. Tekadku sudah bulat. Aku tak mau hidup terus menerus dalam kemiskinan ini. Lihatlah, rumah gubuk bambu reot punya emak, suatu saat aku bakal merubahnya layaknya istana mak. Ayah sudah tiada semenjak aku bayi, dan pekerjaanku di kampung ini cuma buruh di ladang singkong. Tak mau ku hidup terus begini. Aku juga pingin sukses dan kaya mak "
"Baiklah. Kalau itu sudah jadi pilihanmu nak, emak cuma bisa mendoakanmu dari sini. Hati-hatilah nak disana, jagalah kesehatanmu. Jangan tinggalkan ibadahmu. Jadilah orang yang jujur. Karena orang jujur di masa sekarang ini ibarat sebuah mutiara diantara lautan. Amat susah dicari. Ayahmu meninggal dunia juga karena mempertahankan kejujurannya, ibu akan bangga padamu bukan karena berapa banyak harta yang kau kumpulkan, tapi seberapa kuat kamu mempertahankan kejujuranmu"
Itulah pesan terahir yang mbok inah sampaikan pada jajang, anak tunggalnya sebelum deru suara kereta membawanya menuju pengaduan nasib di ibu kota.
Namun kini, hanya sesal duka yang mbok inah rasakan. Malu, kecewa , sedih, marah. Hanya itu yang bisa Mbok rasakan.
***
"Jang, kamu sudah bikin emak kecewa, emak sudah berpesan sama kamu Jajang" mbok inah masih memandangi meja yang membatasi mereka berdua. Suara decitab kipas angin usang sesekali menyela pembicaraan mereka. Sipir yang mengawasi mereka masih asik memainkan hapenya yang didapat dari napi-napi di sel pengap dan bau tengik itu.
"Jakarta kejam mak...aku ga bisa cari kerjaan halal"
"Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu"
"Cari yang haram aja susah mak, apalagi yang halal!". Jajang menggebrak meja dengan emosi, sipir cuma melirik ke arah jajang, ia masih asik dengan bb nya.
"Nak, tak peduli semiskin apapun kamu, sepayah apapun kondisi keadaan kamu, apa kamu lupa pesan yang emak katakan sebelum kamu pergi? Sekarang hanya sesal yang kamu dapatkan atas kesalahanmu yang sudah melupakan kata-kata emak. Emak bersujud pada Allah dalam tiap doa emak doakan kamu, emak pinta sehatlah badanmu, halallah rezekimu, panjanglah umurmu, serta kuatlah imanmu. Bukan salah Allah tidak mengabulkan doa emak, tapi kesalahan-kesalahanmulah yang menutup rapat pintu-pintu doa emak." Mbok inah menatap jajang dengan pandangan berkaca nan teduh khas seorang ibu.
"Janganlah kau mongoceh begitu terus mak. Pusing aku dengarnya, memangnya nyari duit gampang. "
Seketika raut wajah mbok inah menjadi merah. Sudah habis kesabarannya, 5 tahun tak ada kabar. Inikah balasan yang harus didapatkannya.
"Tidakkah kau sedih melihatku. Aku susah payah datang ke kota ini, uang yang kudapat buat kesini kukumpulkan sedikit sedkit selama bertahun-tahun. Air mataku sudah kering habis tuk menangisimu. Tak kauberi kabar sedikitpun walau cuma tentang keadaan emak. Tidakkah kau tahu betapa menderitanya emak ini, sakit yang menggerogoti tubuh ini. Sementara kamu dengan foya-foya nya di kota ini, menghamburkan duit haram, main judi sama perempuan, pulang-pulang mabok-mabokan. Manusia tidak tahu diri kau ini, kau lupa asalmu, kalau ayah masih hidup betapa malunya dia melihat kelakuanmu !"
"Aku khilaf mak...aku cuma ikut-ikutan bosku!"
"Khilaf...? Khilaf macam kau ini? 5 tahun jadi setan masih bisanya kau bilang khilaf. Nak, terimalah ganjaran yang setimpal ini. Masih untung kau diberi hukuman di dunia, bukan di akhirat. Yang seadil-adilnya pengadilan."
"Ah...memangnya Tuhan masih anggap aku hambanya? aku sudah tak percaya doa-doaku dulu tak kunjung ia dengar. Tahajud-tahajudku dulu tak ada gunanya. Ia seperti tuli, Ia juga pasti puas dengan keadaanku kini. Tuhan itu cuma mimpi, angan-angan yang cuma buat manusia tetap melarat. Karena kerjanya cuma nungging-nungging sehari semalam"

"Kau sudah buta nak. Buta matamu buta hatimu. Mengeraklah kau di jeruji-jeruji ini"

Mbok inah berdiri. "Plaaaaak...." Tamparan penuh amarah mendarat di pipi kiri jajang. "Dasar anak tak tahu diri ! Malu aku punya sampah seperti Kamu!". Jajang hanya tetap menunduk dalam kebisuan. Tanpa melihat mbok inah yang berjalan meninggalkannya dengan langkah yang mulai renta. Sesaat kemudian mbok inah menoleh kembali memandang anak semata wayangnya yang juga sudah berjalan berlawanan arah menuju sel pengap lagi tengik itu. Tampak oleh mbok inah sebuah baju orange bertuliskan, "Tahanan KPK". Tangis mbok inah makin pecah.

***
Mbok inah tersentak dari lamunannya saat kilatan petir melintas didepan mata. Diusapnya butiran air membasahi kedua pipi. Sebuah bayangan tak asing terlukis di jendela. Terlintas wajah sang suami dengan senyum bijaksana seakan telah melihat surga. Nampak gagah dengan peci haji putih, ia berkata..."Maafkanlah anak kita bu...". Mbok inah tersenyum tanpa kata.
Hanya mengangguk saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun