Mohon tunggu...
Daniya
Daniya Mohon Tunggu... Lainnya - A Try to be Creative Human Being

Soft hearts, electric soul

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Seaspiracy (2021), Dokumenter Kontroversial Industri Penangkapan Ikan

6 April 2021   18:59 Diperbarui: 6 April 2021   19:13 2848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dokumenter keluaran Netflix ini merupakan karya pasangan suami istri Ali Tabrizi dan Lucy Tabrizi, serta Kip Andersen. Bagi penggemar film dokumenter, nama Kip Andersen mungkin sudah tidak asing lagi. 

Andersen merupakan sosok dibalik film Cowspiracy (2014) dan What the Health (2017). Kedua film tersebut juga merupakan film dokumenter yang tidak kalah kontroversialnya karena menyoroti sisi gelap industri peternakan sapi dan industri makanan serta kesehatan.

Pada awalnya saya mengira bahwa film ini akan memusatkan pembahasannya pada masalah kerusakan laut yang sering kita dengar. Dugaan saya mengenai hal tersebut tidak sepenuhnya salah.

Seaspiracy memang turut membahas isu-isu yang sudah tidak asing lagi seperti polusi sampah plastik di laut, perburuan masif terhadap jenis ikan eksotis, serta kerusakan terumbu karang. Namun ternyata yang dijadikan persoalan utama pada film ini adalah tentang pengaruh penangkapan ikan komersial dan konsumsi makanan laut terhadap hancurnya ekosistem laut.

Film diawali dengan cerita personal dari Ali Tabrizi yang sejak kecil memiliki ketertarikan pada dunia kelautan. Tabrizi membahas kepeduliannya soal dampak sampah plastik kepada kehidupan biota laut, tentang bagaimana sampah-sampah tersebut terurai menjadi mikroplastik dan diserap oleh ikan-ikan di laut. 

Dengan semangat untuk menyebarkan kesadaran akan kritisnya kondisi laut bumi, Ali Tabrizi dengan istrinya memutuskan untuk memulai perjalanan investigasi ke Taiji, Jepang. Daerah itu terkenal atas maraknya penangkapan lumba-lumba. Semua lumba-lumba itu ditangkap dengan tujuan untuk dijual pada taman hiburan satwa laut.

Dimulai dari perjalanan ke Jepang tersebut sedikit demi sedikit kebobrokan industri penangkapan ikan komersial mulai dikuak. Lumba-lumba yang ditangkap bukan sekedar untuk dijual tapi justru mayoritas dibunuh karena dianggap sebagai hama bagi para nelayan ikan. Lumba-lumba dilihat sebagai pesaing nelayan dalam mendapatkan ikan jenis pacific bluefin tuna yang berharga fantastis. Selain dari lumba-lumba, juga ada ikan hiu yang diburu demi siripnya.

Sirip hiu kemudian diolah menjadi sop dan dikonsumsi sebagai makanan orang-orang kaya karena harganya yang mahal. Seolah perburuan ikan sendiri tidak cukup buruk, Seaspiracy turut menunjukan betapa besar andil industri penangkapan ikan pada jumlah sampah plastik yang ada di laut. Tidak seperti dugaan kita, dimana sampah di laut didominasi oleh botol atau kantong plastik, ternyata mayoritas atau 46% dari sampah plastik di laut merupakan jaring bekas penangkapan ikan.

Mirip dengan film Cowspiracy ataupun What the Health, film ini juga melakukan penyelidikan dan wawancara ke beberapa lembaga atau institusi yang bertanggung jawab serta berperan aktif dalam gerakan perlindungan ekosistem laut, yaitu Earth Island, MSC, dan OCEANA. Dari pengusutan yang dilakukan, banyak fakta-fakta mencengangkan sebagai hasilnya. 

Dari mulai lemahnya penerapan regulasi yang ada, hingga tidak terpercayanya klaim-klaim yang dikeluarkan organisasi-organisasi tersebut. Bahkan juga ada yang menolak untuk diwawancarai atau malahan kebingungan menjawab pertanyaan Ali Tabrizi saat wawancara.

Salah satu fenomena penting yang tak ketinggalan untuk ditampilkan pada Seaspiracy adalah perbudakan yang dialami para ABK atau anak buah kapal, terutama di daerah Asia Tenggara. Ali mewawancarai sejumlah ABK di negara Thailand yang menjadi korban praktik perbudakan. Para ABK ini kerap disiksa bahkan tidak segan-segan dilempar ke laut jika tidak mampu bekerja.

Mempertanyakan tentang solusi untuk mewujudkan sustainable fishing, Seaspiracy juga mengeksplorasi praktik budidaya ikan. Budidaya menjadi sebuah opsi karena ikan dikembangkan, bukan ditangkap dari lautan bebas. Pada film ini ditunjukan bahwa faktanya pakan untuk ikan yang dibudidaya sebenarnya terbuat dari ikan yang ada di lautan bebas. Selain itu, praktik budidaya ikan memiliki dampak negatif terhadap kesehatan ikan itu sendiri seperti kurap, lahir cacat, dan penyakit lainnya.

Pada akhirnya, film ini menawarkan solusi dengan menganjurkan untuk tidak mengkonsumsi makanan laut. Hal ini menyebabkan banyaknya kontra terhadap film Seaspiracy. 

Banyak pihak yang menganggap bahwa selama konsumsi serta penangkapan terhadap ikan dikontrol dengan baik maka sustainable fishing bisa terwujud. Kemudian ada juga yang berpendapat mengenai banyaknya orang yang menggantungkan hidup mereka pada industri penangkapan ikan, sehingga tidak benar untuk menerima anjuran dari film ini secara mentah-mentah. Yang lebih vokal lagi, ada yang beropini bahwa film ini penuh dengan misinformasi dan sebenarnya adalah propaganda aktivis vegetarian.

Kalau untuk saya pribadi, terlepas dari kontra yang ada, film Seaspiracy ini patut ditonton untuk membuka mata kita tentang hal-hal yang terjadi dalam industri penangkapan ikan dan tentang kondisi lautan. Poin yang saya tangkap, film ini pada dasarnya mencoba mengedukasi atau membuat penontonnya berpikir bahwa ‘kita’ adalah sumber masalahnya. Bahwa sebagai manusia kita harus bertanggung jawab terhadap pengelolaan laut yang merupakan anugerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun