Mohon tunggu...
Dani Wijaya
Dani Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pekerja Keras

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hinaan terhadap Ideologi Bangsa Layak Mendapat Tindakan Tegas

24 November 2017   10:04 Diperbarui: 24 November 2017   10:07 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi seorang pengkaji karya sastra pasti akan sangat paham bahwa setiap karya, terutama puisi, itu tak hanya sekadar ekspresi seni saja. Di balik sebuah puisi selalu terdapat pesan yang hendak disampaikan. Pesan ini bisa secara tersurat maupun tersirat.

Seringkali, puisi juga bisa menjadi sarana kritik. Melalui perpaduan sajak, bait dan rima, puisi digunakan untuk mengantarkan pesan yang berisi kritikan. Seperti puisi yang lagi ramai di media sosial belakangan dengan judul "Gara-Gara Pancasila".

Dalam puisi tersebut, sang panulis yang anonim menyebarkan pesan satir bahwa segala masalah di negeri ini karena Pancasila. Penulis menuduh para penguasa menggunakan jargon Pancasila untuk 'menjual' negara ke swasta. Oleh karena itu, di akhir ia berkesimpulan bahwa semua karena Pancasila, maka ia menegaskan dirinya sebagai "Anti-Pancasila".

Meskipun puisi itu sebenarnya pesan satir dan kritik, namun dengan menyalahkan Pancasila sebagai sumber bencana di negeri ini sungguh tak elok. Bila tak dipahami dengan benar substansi puisi tersebut, para pembaca bisa tergiring untuk menghina ideologi, dasar, sekaligus pemersatu bangsa Indonesia, yaitu pancasila.

Pancasila sendiri disusun oleh para founding fathers sebagai dasar untuk menciptakan kedamaian dan harmoni di Indonesia. Hal itu dilatarbelakangi oleh fakta historis dan sosiologis bahwa masyarakat Indonesia itu sangat beragam, baik dari segi agama, suku, etnis, maupun golongan politik. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah konsep yang bisa menjadi pemersatu pluralitas itu, yaitu Pancasila.  

Dengan demikian, Pancasila adalah nilai universal yang telah disepakati oleh segenap pendiri bangsa untuk hidup bersama di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, sangat tidak layak bila dikatakan bahwa Pancasila merupakan sumber malapetaka.

Kemudian, para pengamal Pancasila ini juga tak tepat bila disebutkan mereka yang memiliki jabatan saja. Sebagai sebuah konsensus bangsa, Pancasila selayaknya diamalkan oleh masyarakat biasa juga. Bahkan penulis itu pun secara normatif juga pengamal Pancasila. Dengan demikian kritiknya pun gugur sendiri, karena sebenarnya ia turut menunjuk dirinya sendiri. Kecuali bila ia memang menyangkal nilai universal dan secara ideologis menentang Pancasila. Maka itu, bukan kritik lagi tapi perbuatan makar atas Pancasila.

Dengan melihat postingan mereka di media sosial, dapat dikatakan bahwa pembuat dan para penyebar puisi tersebut pada dasarnya sedang berpropaganda negatif atas Pancasila. 

Namun, sayangnya "analisa" mereka melalui puisi tersebut terkait Pancasila sangat tidak relevan dan ahistoris. Selain itu juga banyak jumping into conclusion yang sangat tidak tepat. Maka, meskipun itu masuk kategori puisi, bisa dikatakan itu tak layak untuk disebut karya sastra yang baik. Bahkan, masuk kategori jelek pun belum.

Kita pun harus kritis untuk melihat para pengkritik. Karena tidak setiap kritik itu relevan substansinya, meskipun menggunakan media apapun. Substansi kritik harus kita pahami, agar tidak mudah terbawa arus para penggiring opini tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun