Kesunyian masih bersemayam di tanah itu. Bersembunyi di balik karang-karangnya yang berpasir, enggan pergi bersama anginnya yang berdesir. Cuma ada suara derit kursi goyang yang setia menemani keheningan, kepayahan menanggung bebanmu. Pandanganmu juga masih saja mengarah ke barat, ke batas cakrawala di mana luasnya langit bertemu dengan hamparan pasir. Terus menunggu dan menunggu, sampai yang kamu tunggu muncul dari batas ketiadaan.
Mendadak matamu menyipit. Ada sebentuk bayangan kecil bergoyang bersama uap panas padang pasir yang mengambang di udara. Lama-kelamaan titik hitam itu kian membesar, mewujud jadi manusia. Seorang laki-laki setengah baya sedang berjalan ke arahmu. Rambutnya berantakan, pakaiannya compang-camping dan ia bertelanjang kaki.
“Maaf, Kek, tempat apa ini?” Suara paraunya bergabung dengan jeritan kursi goyang, menyemarakkan siang itu.
Kamu tak menjawab. Mulutmu yang keriput semakin mengerut saat mengulum pipa tembakau kuat-kuat dan menghembuskan asapnya keluar, bergelung-gelung sampai ke atap gubuk yang berlubang.
“Kek, bisa beritahu saya tempat apa ini?” Kali ini terlontar lebih keras dan tegas. Mungkin dia pikir yang diajaknya bicara itu tuli.
Bunyi berderit mendadak hilang seiring perhatianmu yang sekarang tertuju pada tamu tak diundang itu.
“Apa yang membawamu kesini?” Tanyamu, tak kalah paraunya.
Laki-laki itu kelihatan bingung, “Sebetulnya, saya tidak tahu.”
Kamu menatapnya lekat-lekat, seakan meminta penjelasan lebih dari jawaban yang cuma sepotong.
“Saya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dari kantor, lalu tiba-tiba pandangan saya kabur. Setelah itu saya terjatuh dan semuanya jadi gelap. Begitu sadar, di sekeliling saya hanya ada pasir. Sejauh mata memandang pun hanya pasir dan pasir. Saya terus berjalan ke satu arah dan akhirnya saya sampai kesini. Tempat apa ini, Kek?”
Orang itu pun masih mengharapkan sebuah jawaban. Mereka selalu bertanya hal yang sama, tapi kamu seperti tidak tertarik untuk memberikannya.