Puspita
: sebuah sajak sederhana
Membaca matamu, kutemu rubiyat kenangan. Mungkin semacam kisah rindu,
sebab menyelami kedalaman tatapmu ialah jalan kepulangan. Menuju dermaga hening,
lalu berdiamlah aku pada bening bolamatamu. Merangkai seribu puisi rindu,
sebelum kubacakan pada Tuhan. Sebab, aku ingin rinduku bergema di langit– menuju surga
hingga mengukir nama kita; pada labirin merah jingga yang kunamai rasa.
Puspita, jenguklah kedalaman hatiku. Maka akan engkau temukan seribu bait puisi,
yang mengisahkan segala tentangmu. Tentang matamu yang menciptakan pelangi
dengan tujuh warna keabadian. Tentang bibirmu yang menghadirkan kelopak mawar
dengan keharuman peneduh batin. Hingga tentang tubuhmu yang mewujud shalawat daun
dengan rerimbun doadoa. Pada pepohon firman kasih-Nya; atas nama kita!
Puspita, diamlah sejenak di sini; di dadaku. Lalu meleburlah dalam detak jantungku,
sebab aku ingin menyatukan ada-mu dalam desah nafas yang menghidupkanku.
Sungguh telah kupasrahkan lahir-matikuku menjadi setubuh lelaki penjaga rindumu.
Maka lekatlah dalam nafasku. Abadilah dalam jiwaku. Hingga berpadu jiwamu-jiwaku
dalam almanak takdir. Di surga kebahagiaan yang bersidekap keagungan Tuhan.
Padepokan Kompak-Pascasarjana UM, 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H