Mungkin aku tidak pantas jadi penulis sastra, puisiku jelek, sejelek wajahku, cerita prosaku juga hancur, sehancur hidupku. Lalu manusia pada bahagia menertawakanku, ada juga yang mengelus dada merasa kasian melihat kemalangan nasibku.
Mungkin aku tidak cocok jadi penulis sastra, coba berpindah profesi jadi kuli angkut batu bata, atau punguti plastik bekas, dijual ke pengepul untuk sekadar bertahan hidup. Dan manusia tidak mengenaliku lagi, tidak peduli, bahkan tak mau melihat wajah kumalku ini, sekadar mengulurkan uang recehan saat kuparkirkan kendaraannya.
Mungkin aku memang harus berhenti menulis sastra, mencoba menulis non fiksi saja. Tentang agama kek, motivasi kek, pendidikan kek, sampai jadi kakek-kakek. Biar tenar kuberi judul bukuku "Kiamat Sudah Lewat" atau "Pahala Sudah Kadaluarsa" bisa juga "Menulis Hanya Membuat Anda Gila". Lalu aku ditangkap dan dipenjara. Coba menulis tafsir seperti Buya Hamka aku tidak bisa. Akhirnya mati tanpa nama.
Mungkin aku harus berhenti total menulis sastra, agar tidak ada lagi ocehanku yang membuat hati manusia terluka. Lalu aku pergi ke hutan rimba jadi petapa seperti Sidarta Gautama, namun yang kudapat bukan pencerahan, malah dijemput kematian karena kelaparan. Semua manusia tidak mengenalku, kalian pun akan melupakanku, karena aku pun lupa siapa jati diriku.
Aku memang harus berhenti jadi penulis sastra, bahkan jadi penulis apa saja, harus aku tinggalkan semua. Aku tidak butuh ketenaran nama, atau penuh ambisi mencari pundi-pundi harta. Aku tidak akan lagi menulis kata. Dan sekarang aku sadar, aku tidak butuh kata-kata, aku hanya butuh cinta. Ya, hanya cinta. Cinta itulah yang telah membuatku bisa menulis tentang apa saja, dan segalanya.
15/04/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H