Mohon tunggu...
Muhamad Hamdani Syamra
Muhamad Hamdani Syamra Mohon Tunggu... -

mahasiswa, guru freelance, penulis dan pemilik Mata Pena Group

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Second Chance

16 Oktober 2011   11:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:53 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana kelas senyap. Tak ada yang berbicara dan mengobrol sesuka hati seperti biasanya. Pak Togar dengan garang menatap murid-murid. Cambang dan kumis lebatnya merontokkan nyali setiap murid, bahkan murid ‘terbandel’ sekalipun.

“Baik anak-anak, saya harap kalian mengerti dengan apa yang saya ucapkan. Selamat berjuang.” Suara bariton miliknya menggema dan memenuhi seisi kelas. Aku hanya terdiam dan memanggut-manggut mendengarkan ‘ocehan’ Sang Admiral–sebutan aku dan teman-teman sekelas untuk Pak Togar. “Baiklah, selamat siang.” Admiral pergi meninggalkan ruangan kelas.

Huuufftttt.. Semua murid langsung menghembuskan nafas dalam-dalam. Termasuk aku. Seolah hadirnya Pak Togar tadi membuat kami susah untuk bernafas. Seketika itu juga kelas mendadak riuh, celoteh demi celotehan membuat kelas menjadi bising kembali, seperti sebelum Admiral datang. Celoteh-celotehan yang membuat memenuhi kelas adalah tentang Ujian Akhir Nasional (UAN) yang akan tiba seminggu lagi. Semua murid, termasuk aku sangat was-was menunggu datangnya hari itu tiba.

“Sen, kamu kan pinter pelajaran matematika dan ekonomi. Kamu mau yah ajarin aku.” Laras tiba-tiba menghampiriku dan memintaku mengajarinya kedua pelajaran itu. Dadaku bergemuruh. Mukaku memanas. Ada sebuah sensasi tersendiri yang kurasakan saat ‘Sang Mantan’ mengajakmu berbicara.

Aku terdiam sesaat, sebelum kembali tersadar saat Laras mengulangi perkataannya. “Eh? Oh oke, kapan mau belajarnya? Kita sharing aja yah? Jadi saling berbagi ilmu. Kamu nanti ajarin aku pelajaran bahasa inggis yah.” Aku mencoba bersikap setenang mungkin dan menyembunyikan rasa nervous yang sedang ku alami. Mendengar suaranya membuat hati ini kembali berdenyut keras. Menatap matanya mampu meluluhkan semua ketenangan diriku.

Laras diam dan–sepertinya–berfikir. Ekspresi wajahnya saat sedang memikirkan sesuatu membuatku selalu ingin mencubit pipinya. Terlalu menggemaskan. “Yaudah gini aja Sen, kan UAN hari senin yah. Nah kita belajar barengnya hari sabtu aja gimana? Biar bisa refresh otak pas hari minggu.”

Aku mengangguk setuju. Hati dan kelakuanku tak sinkron.Hanya segurat senyum kecil aku tunjukkan kepada mantanku ini. Padahal hati ini berbunga-bunga dan sangat senang. Hati ini berkhianat.

*

Hari yang dijanjikan tiba. Laras datang menggunakan baju atasan kemeja berwarna merah maroon dan celana jeans biru tua. Simple. Seperti dirinya, apa adanya. “Masuk Ras. Kita belajar disini aja.” Aku mengantarkannya ke ruang tamu. Tempat yang sangat familiar bagi kami dulu. Di ruang tamu ini tempat kita biasa mengobrol dan tertawa bersama. Di ruang tamu ini jugalah kita harus menyudahi semuanya.

“Assalamualaikum,” ucapnya sesaat sebelum masuk ke dalam rumah. “Walaikum salam. Wah… ada nak Laras main kerumah.” Tiba-tiba Ibu keluar dari dalam kamarnya. “Mau belajar bareng yah?”

“Iya tante, mau belajar sama Seno. Buat mantepin materi matematika dan ekonomi aku.” Senyuman manis terkembang di wajahnya. Senyum yang selalu kurindukan. Aku hanya mampu menatapnya menatap senyuman itu. Tak ingin senyum itu terhapus lagi dalam dirinya.

“Udahlah kalau memang itu yang kamu mau. Terserah!!” Aku membentak Laras untuk pertama kalinya. Di malam itu emosiku tak terkontrol. Aku melihat dirinya terisak di sofa rumahku. Kesalahpahaman yang berakibat fatal.

“Baik Sen, mungkin kita memang udah nggak cocok lagi. Selamat malam!” Matanya memerah dibanjiri air mata. Laras menghapus paksa tangisan diwajahnya dan melangkah pulang.

Kenangan itu berkelebat dalam pikiranku. Kenangan kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian yang menghilangkan senyuman di wajah Laras selama hampir satu bulan. Aku menyesali hal itu terjadi. “Ya sudah, kalian belajar yang benar yah. Tante tinggal ke pasar dulu.” Kesadaranku pulih saat menyadari Ibu telah pergi meninggalkan kami berdua di ruang tamu.

The best thing about tonight’s that we’re not fighting

Could it be that we have been this way before

I know you don’t think that I’m trying

Ponselku berdering. Potongan lirik lagu kesukaanku menggema. Dengan segera aku menjawab panggilan masuk. Terdengar suara Randai–sahabatku–dari balik speaker ponselku. Sebuah percakapan singkat itu berakhir. Aku menatap wajah Laras selama beberapa detik. Aku terpana. Wajah itu membiusku.

“Sen? Kita mulai belajar sekarang aja yuk.” Lamunanku lenyap dan mencoba bersikap setenang mungkin dihadapanya. Tapi gagal.

“Eh? Yaudah kita mulai sekarang belajarnya. Kamu duduk aja dulu. Aku mau ke dapur dulu, mau ngambil air.”

*

Sudah hampir selama 2 jam kami belajar bersama. Aku senang. Aku bahagia. Selama belajar bersama aku merasa tanpa jarak dengannya. Senyumnya. Tawanya dan eksperesi wajahnya. Aku rindu moment ini. “Ras. Mungkin nggak yah kita bisa kayak dulu lagi?” Tanpa sadar lidahku mengeluarkan kata-kata secara spontanitas.

Laras yang sedang fokus menyalin catatan yang aku berikan, seketika itu juga berhenti mencatat. Dia mengangkat wajahnya dan memandangi diriku. Kedua bola mata kami beradu. Tak ada emosi marah dimatanya. Dia tersenyum. Hanya tersenyum. Lalu dia kembali mencatat.

Aku tersenyum kecil. Wanita ini memang berbeda. Masih saja tak bisa ditebak apa yang dipikirkannya saat ini. Aku memperhatikan kembali wajah Laras. Wajahnya tidak cantik.Bentuk tubuhnya tidak sexy. Tapi entah kenapa, menurutku dia memiliki pesona yang begitu kuat di mataku.

*

Kami sudah selesai belajar. Tak terasa kami belajar hampir selama 5 jam. Saat ini langit sudah mulai memerah. Sebentar lagi senja tiba dan gelap akan segera menyergap langit yang saat ini terlihat indah. Semburat jingga memenuhinya.

Saat ini aku sedang berjalan beriringan dengan mantan kekasihku. Dia lebih banyak diam hari ini. Aku mengantarnya pulang. Jarak rumah kami tidak terlalu jauh. Jadi kuputuskan untuk mengantarkannya pulang. “Sen. Maafin aku yah.” Tiba-tiba Laras memulai obrolan.

“Maaf untuk apa?” Aku bingung.

Laras menundukkan wajahnya sesaat sebelum mengangkat wajahnya dan menantang mataku. “Aku minta maaf dengan semua kejadian yang dulu. Aku minta maaf untuk kesalahan aku. Dan aku minta maaf untuk sifatku yang kekanak-kanakan.”

Aku tersenyum. Dada ini terasa lega. Aku mengamit jemari Laras. Kutatap mata bulat miliknya. “Kita bisa memulai semuanya kembali Ras.” Aku tersenyum tipis membalas senyuman yang dihadirkan dirinya. Senyuman yang tak ingin ku lepas kembali.

*

Beberapa bulan kemudian,

Hari ini adalah hari terakhir aku bertemu teman-teman dan guruku. Hari ini adalah hari yang sangat menguras emosiku. Di hari ini aku dan teman-teman akan merayakan pesta perpisahan kita. Ya! Pengumuman UAN sudah keluar satu bulan yang lalu, dan kini hari perpisahan telah tiba.

“Nak, selamat yah. Kamu bikin Ibu bangga deh,” ucap Ibu yang datang untuk melihatku dikalungkan medali siswa terbaik karena mendapatkan nilai UAN tertinggi di sekolahku. Aku memeluk wanita yang sudah melahirkan dan membesarku ini. Mataku memanas. Ada haru yang menyelinap didalamnya.

Aku memanjangkan leherku mencari seseorang ditengah kerumunan ini. Aku mencari Laras di antara puluhan teman-temanku yang telah larut dalam euforia. “Hai Sen, selamat yah.” Seorang temanku memberikan selamat kepadaku. Dan aku hanya menjawab singkat ‘terima kasih’. Aku masih sibuk mencari wanita itu. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan kepadanya sebelum aku tampil di panggung terakhirku di masa sekolah.

Aku menyerah. Setelah beberapa menit mencari, aku tidak menemukan Laras. Waktunya telah tiba. Aku harus segera menuju panggung.“Oke, penampilan selanjutnya dari Seno Praditya.” Suara pembawa acara menyemarakkan acara yang semakin ‘panas’.

Aku segera naik ke atas panggung dan menyeting gitar. “Baik kawan-kawan. Gue bakal bawain sebuah lagu dari Seconhand Serenade. Lagu ini gue persembahin buat seorang cewek yang gue sayangin, semoga dia denger. Oh iya, kita nyanyiin lagu ini bareng yah.Gue rasa kalian udah hafal sama lagu ini.

Petikan gitar accoustic mulai terdengar. Jemariku memainkan intro lagu dengan tempo yang lambat.

“The best thing about tonight’s that we’re not fighting.” Suaraku mulai menyanyikan lirik awal lagu tersebut dengan penuh penghayatan. Aku menyanyikannya dengan memejamkan mata. Jemariku sudah sangat hafal dengan kunci-kunci nada lagu ini. Terdengar suara tepuk tangan dari teman-temanku.

This is not what I intendeed

I always swore to you I’d never fall apart

You always thought that I was stronger

I may have failed but I have love you from the start

Dadaku sesak. Emosi dalam diriku bergejolak. Setelah menyanyikan lagu ini aku segera turun ke belakang panggung. Tak ingin terlihat mataku menanggung haru. “Laras?” ucapku bingung melihat wanita tersebut berdiri di belakang panggung menungguku.

Wanita itu hanya tersenyum dan merentangkan tangannya. Segera aku memeluk dirinya di belakang panggung. “Bisa kita memulainya kembali dari awal Ras?” tanyaku kepadanya.

“Iya, Sen,” jawabnya singkat dan sedikit tidak jelas karena air mata sudah membanjiri matanya.

Kukecup keningnya dan mendekapnya lebih erat. “Because the girl like you is impossible to find,” kunyanyikan potongan lagu itu pelan ditelinganya. Dia tersenyum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun