Mohon tunggu...
Muhamad Hamdani Syamra
Muhamad Hamdani Syamra Mohon Tunggu... -

mahasiswa, guru freelance, penulis dan pemilik Mata Pena Group

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kiara

3 Oktober 2011   16:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:22 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Didalam kamar, aku membongkar-bongkarkembali isi kamar yang telah aku huni selama belasan tahun. Sejak pertama kali aku menempati kamar ini, saat masih duduk dibangku SMP hingga sekarang aku yang ingin melangsungkan pernikahan beberapa hari kedepan.

Sudah waktunya aku memberes-bereskan kamarku yang nantinya akan menjadi ruang tata rias pengantin. Ya! Aku akan menggelar resepsi pernikahanku di rumahku. Sebuah acara yang nantinya cukup sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Hanya mengundang tetangga, teman-teman dan tentunya keluarga terdekat kami.

Aku membersihkan dan memindahkan semua benda-benda yang ada dikamarku ke bagian belakang rumah. Lemari kayu setinggi 2 meter, rak buku berwarna coklat muda, tempat tidur berbahan kayu jati yang pernah aku warnai dengan warna coklat tua, gitar Yamaha yang sering aku mainkan saat masih kuliah serta benda-benda lainnya yang mengisi kamarku, aku pindahkan semuanya.

Seketika perhatianku tertuju pada sebuah kotak kecil berwarna hitam yang terlihat seperti kotak harta karun dalam film Pirates of Caribian. Aku tersenyum kecil memegangi kotak yang sudah dilapisi debu tebal ini. Kotak yang sudah lama sekali aku lupakan. Kotak kecil yang aku kira sudah hilang entah kemana, karena sakit hati yang terjadi beberapa tahun yang lalu.

Aku mengusap debu yang menempel dan membuka kotak itu perlahan, takut merusak kotak dan segala benda yang ada didalamnya. Binggo. Semua benda yang ada didalam kotak tersebut bersih tak terkena debu sedikitpun.

Kukeluarkan semua benda-benda kenangan masa lalu itu satu per satu. Sebuah sapu tangan, tiket-tiket bioskop, secangkir mug, subuah jam tangan yang sudah lama mati dan setumpuk foto-foto seorang perempuan dari waktu ke waktu. Lalu aku memegangi sebuah foto usang yang sudah menguning. Sebuah foto diri seorang perempuan berwajah oval dengan bola mata bulat, membuatnya tak bosan untuk dipandangi, walaupun hanya sebuah foto. Perempuan di foto itu bernama Dhea Kiara Donovan, dia biasa dipanggil oleh teman-teman lainnya Dhea tapi hanya aku memanggilnya Kiara. Foto ini diambil belasan tahun yang lalu, foto yang diambil saat kami masih duduk di bangku SMP kelas 2.

Aku berhenti membereskan isi kamarku. Aku terduduk di lantai memandangi benda-benda kenangan yang sudah lama sekali aku simpan rapi. Kupandangi wajah Kiara dimasa lalu yang ada di foto-foto itu. Ya! Semua foto itu adalah foto Kiara. Seketika pikiranku terlempar jauh ke dalam kenangan masa lalu.

***

15 Tahun Lalu,

Aku selalu melihat gadis berambut gelombang sebahu yang sama, dijalan menuju ke rumah. Gadis yang belakangan ini selalu kulihat satu arah jalan pulang menuju rumahku. Gadis itu memakai kacamata berbingkai putih dan seragam SMP. Mungkin dia seumuran denganku, pikirku dalam hati.

Setelah beberapa hari aku melihat gadis berkacata putih itu, aku memberanikan diriku untuk mengajaknya berkenalan. Sebuah perkenalan yang sangat singkat. “Hai!” Aku menyapa gadis itu saat kami beradu pandang di sebuah gang kecil yang menuju arah rumahku.

Gadis tersebut menghentikan langkahnya sesaat, lalu memandangku dengan sebuah senyum tipis, gadis itu menjawab . “Hai juga,” lalu dia meneruskan langkahnya.

“Nama aku Irfan Rahardian! Nama kamu siapa?” Tanyaku kepada gadis itu. Dia berhenti sesaat dan membalikkan badannya. “Nama aku Dhea Kiara Donovan. Salam kenal.” Setelah itu Kiara langsung kembali berjalan.

Aku berdiri diam mematung. Dhea Kiara Donovan? Sebuah nama yang cukup bagus, ujarku dalam hati sekaligus berusaha mengingat nama itu.

***

Semenjak hari itu aku semakin sering melihat Kiara melintasi depan rumahku. Semakin sering pula aku melihat wajahnya setiap hari. Namun entah kenapa sangat sulit dapat berbicara banyak dengannya. Lebih sering kami berbicara hanya untuk mengucapkan kata 'hai' dan 'apa kabar'.

Suatu hari aku sengaja duduk di beranda rumah. Saat itu adalah hari sabtu. Biasanya Kiara akan melewati rumahku, karena biasanya dia setiap hari sabtu sore dia akan pergi berolahraga di lapangan dekat kompleks rumahku.

“Kamu nungguin gadis berambut coklat yang bergelombang itu ya, Fan?” Tiba-tiba terdengar suara Bunda yang sedari tadi sudah berdiri di belakangku.

“Eh, Bunda,” jawabku sedikir salah tingkah. “Enggak kok Bun, lagi pengen duduk-duduk aja di sini,” jawabku dengan memasang senyum yang terlihat sekali sedang berbohong.

“Hmm,” seulas senyum tercipta disudut bibir bunda. “Kamu suka yah sama gadis itu?” ejek bunda kepadaku.

Aku menunduk malu. “Salah ya Bun, ingin mengenal dekat seorang teman perempuan baru?” ucapku yang tidak bisa berbohong kepada bunda.

“Yaudah kamu sekali-kali ajak aja dia ngobrol,” terdengar suara lebut bunda membangkitkan nyaliku untuk berbicara lebih lama dengan Kiara. “Oh iya Fan, setau bunda, rumah gadis itu ada di nomor 16. Mereka tetangga baru kita.”

Nomor 16? Hanya berbeda 10 nomor dari rumahku, aku membatin. Baik, sudah saatnya mengenal dia lebih jauh, ucapku kepada diriku sendiri saat Bunda sudah masuk ke dalam rumah, meninggalkan aku yang masih duduk termenung di beranda.

***

14 tahun yang lalu,

Sore hari menjelang senja. Di pinggir lapangan basket aku memperhatikan Kiara yang sedang bermandikan peluh. Hari ini adalah hari pertandingan basket antar sekolah. Saat ini yang sedang bertanding adalah SMP Kiara melawn SMP-ku. Seharusnya aku mendukung teman-temanku untuk mengalahkan SMP Purna Bakti-sekolahnya Kiara- tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku mendukung Kiara untuk memenangkan pertandingan ini.

“Ayoo Kiaraa...,” teriakku mendukung gadis bermata bulat itu saat dia sedang mendribel bola menerobos pertahanan tim basket sekolahku.

Sesaat Kiara menengok ke arahku. Kedua mata kami bertemu. Aku melihat dia tersenyum sesaat. Deg. Dadaku bergemuruh. Dalam hati aku ingin mengenal dia lebih jauh, tapi apa daya, sudah hampir satu tahun aku mengenalnya sejak kita bertemu di gang kecil itu dan kini kita sudah di penghujung kelas tiga SMP, tapi aku masih belum sempat berbicara banyak dengannya.

***

Aku tidak menyangka kenangan-kenangan di masa beberapa tahun lalu itu masih membekas jelas di ingatanku. Ya! Aku ingat semua dan segala sesuatu tentang Kiara, tak ada yang terlewatkan. Termasuk, kenangan sedih yang saat itu sedikit mengguncang hatiku. Aku masih terduduk dilantai menikmati semua cerita nostalgia di masa lalu. Sebuah cerita yang mungkin tidak selalu indah, tapi akan selalu akan teringat jelas dibenakku.

Kini aku memegangi sebuah jam tangan berwarna hitam yang sudah lama mati. Jam tangan ini adalah saksi sebuah memory pahit antara aku dan Kiara. Pikiranku kembali melayang jauh mengbongkar-bongkar semua memory tentang jam tangan pemberian pertama dari Kiara . Sebuah hadiah disaat aku berulang tahun yang ke 17. Hadiah yang kupikir saat itu adalah hadiah terakhir dari kamu.

***

12 tahun yang lalu,

Hari ini adalah tanggal 28 Maret. Ini adalah hari ulang tahunku yang ke 17. Mungkin bagi perempuan ulang tahun ke 17 harus dirayakan, pertanda telah dewasanya dia. Tapi bagiku, ulang tahun ke 17 ini aku jalani dengan biasa. Sangat biasa, seolah-olah hari ini bukanlah hari ulang tahunku yang ke 17. Aku pergi ke sekolah seperti biasa dan dengan perasaan yang biasa juga. Sangat biasa. Paling hanya ada beberapa teman SMA ku yang mengucapkan selamat ulang tahun, yang hanya bisa kubalas dengan senyuman dan ucapan terima kasih.

Sepulang sekolah tiba-tiba Kiara menghampiriku. Benar. Kiara masuk ke SMA yang sama denganku tapi kami tidak sekelas. Walaupun kami satu sekolah dan sering bertemu dengannya, tapi tetap saja aku masih seperti 4 tahun yang lalu. Hanya mampu tersenyum dan mengatakan 'hai' saat beradu pandang dengannya di kantin atau pun tempat-tempat lainnya di sekolah.

Aku salah tingkah. Wajahku memerah. Dadaku sedikit bergemuruh. “Hai, Ki,” ucapku dengan gugup.

Sebuah garis tipis melengkung tercipta di bibirnya. “Hai, Fan.” Ucapnya kepadaku. “Uhm, aku mau ngucapin sesuatu nih,” lanjutnya yang mengembangkan dadaku.

Sesuatu? Apa? pikirku dalam hati. “Eh, iya Ki, kamu mau ngucapin apa?” tanyaku kepadanya.

“Bisa kita cari tempat ngobrol yang lebih enak? Ada beberapa hal yang aku ingin omongin ke kamu,” ucap Kiara kepadaku.

Aku mencari-cari tempat dimana kita bisa berbicara dengan santai. “Bisa Ki. Nah dibangku yang itu aja gimana?” tanyaku saat menunjuk sebuah bangku kayu yang ada di samping pohon jambu.

Kiara menjawab dengan sebuah anggukan kecil. Kamipun segera berjalan menuju bangku tersebut. “Fan, selamat ulang tahun yah.” Ucapnya memulai pembicaraan.

Aku melihat senyumnya mengembang saat mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. “Makasih ya Ki,” jawabku. Hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dia memintaku untuk mencari tempat ngobrol yang enak? Pasti ada hal lain yang mau dia bicarakan denganku, pikirku dalam hati.

Aku memandangi wajah Kiara. “Ki, kamu yakin cuma mau ngucapin ulang tahun saja ke aku?” tanyaku beradu pandang dengan Kiara.

“Ehm...” Kiara mencari kata-kata yang pas untukmemulai pembicaraan. “Aku mau kasih tau ke kamu kalau aku akan pindah rumah lagi. Ayah aku ditugaskan memimpin kantor di Jakarta, Fan,” ucapnya seraya memalingkan mukanya. “Kemungkinan minggu depan aku udah pindah ke Jakarta,” ujar Kiara yang membuatku shock.

“Pindah Ki?” tanyaku kepada Kiara. Dia hanya menganguk. Aku diam, isi otakku sedang berfikir cepat. Baik ini saatnya, aku membatin.

“Ki.” Aku memulai kata-kata dengan hati-hati, takut membuat Kiara tersinggung.

Kiara mengangkat kepalanya. Sekali lagi mata kami beradu pandang. “Iya Fan? Ada yang mau kamu bicarakan?”

Aku ragu-ragu untuk menyampaikannya. Lidahku kelu. “Kia,” ucapku sekali lagi. “Jujur, aku senang bisa mendapatkan momen ini, momen yang aku tunggu-tunggu sejak 4 tahun yang lalu. Saat aku bisa berbicara banyak dengan kamu. Dan terus terang juga Ki, aku sedih saat tadi kamu bilang akan pindah ke Jakarta.”

Kami terdiam. Lidahku masih ingin mengeluarkan kata-kata, tapi tertahan. Aku menundukkan kepalaku berusaha menguatkan hati. “Ki, sekali lagi. Jujur aku tertarik denganmu sejak 4 tahun lalu. Terserah orang mengartikan ini sebagai rasa cinta ataupun sayang. Aku selalu menunggu kamu melewati depan rumahku di setiap sore, berharap kamu lewat dan memberikan senyuman kepadaku. Kamu yang selalu aku perhatikan dari kelasku yang berada di samping kelasmu. Cuma kamu. Mungkin aku yang terlalu pengecut, harusnya aku ungkapkan ini sejak dulu.” Lanjutku dengan nada menyesal.

Aku melihat Kiara tersenyum juga. “Bukan cuma kamu, Fan. Aku juga mengalami hal yang sama dengan apa yang kamu rasakan.”

Deg. Gemuruh didadaku semakin menjadi-jadi. “Put? Kamu...,” ucapku menggantung. Aku mengangkat wajahku kembali, memandangi kedua matanya yang bulat. Matanya juga berbinar sepertiku. Dia mengangguk.

“Aku tunggu kamu di Jakarta Fan,” ucapnya kepadaku. “Aku akan menunggu kamu,” lanjutnya.

“Kamu menunggu aku di Jakarta? Maksudnya?” tanyaku bingung

“Kan kamu berniat untuk melanjutkan kuliah di Univesitas Indonesia kan? Berusahalah buat diterima disana. Aku akan menunggu kamu di Jakarta,” ujar Kiara yang mengeluarkan senyum terbagus yang pernah kulihat.

“Ya! Aku janji Ki,” ucapku sembari menggenggam tangan Kiara. Kukecup jari-jarinya. Dia tersenyum.

Tak terasa senja telah tiba. Guratan-gurata sinar berwarna jingga telah memenuhi langit. “Ki, pulang yuk, sebentar lagi magrib.” Aku mengajak Kiara untuk bergegas pulang.

Kiara hanya mengangguk. Akhirnya kita berjalan menuju beriringan. Tangan kami bergandengan erat sepanjang jalan. Tak ada “penembakan” hanya sebuah pengungkapan isi hati, tapi aku percaya Kiara akan benar-benar menungguku.

“Fan, tunggu sebentar,” ucap Kiara sembari mencari-cari sesuatu di dalam tasnya saat aku sudah berdiri didepan rumahku. “Ini kado ulang tahun dari aku. Semoga kamu suka.” Lanjutnya.

Aku menerima sebuah kotak kecil berbalutkan kertas kado berwarna coklat,warna favoritku. “Makasih Ki, aku akan jaga hadiah dari kamu ini,” ucapku kepada Kiara yang langsung meneruskan langkahnya menuju kediamannya.

***

Terdengar suara orang berjalan menuju kamarku. “Fan, kok kamu malah duduk di lantai sih? Bukannya beres-beresin barang. Kamar ini kan mau dijadiin ruang tat arias kita nanti. Acaranya 2 hari lagi kan.” Terdengar suara Kiara yang sudah berdiri di pintu kamar.

“Oh iya Ki, sebentar yah. Tadi aku baru aja menemukan benda penting yang sempat terlupakan,” ucapku kepada calon istriku.

Kiara mengarahkan pandangnnya ke kotak pirates of caribian yang ada didepanku. Mata bulatnya berbinar-binar. “Ah! Itu kotak yang berisi tentang kenangan kita kan Fan?” ucapnya bersemangat.

Aku tersenyum memandangi wajah Kiara. “Iya Ki, kotak ini saksi hubungan kita. Semua tentang kamu ada di dalam kotak ini, dan tak ada yang tertinggal.”

Kiara tiba-tiba memelukku. Tangannya mendekap erat punggungku. “Aku cinta kamu Fan,” bisikknya ditelingaku

Aku memeluknya kembali. Tangan kananku membelai lembut rambutnya yang bergelombang. “I love you too Ki,” jawabku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun