Mohon tunggu...
Muhamad Hamdani Syamra
Muhamad Hamdani Syamra Mohon Tunggu... -

mahasiswa, guru freelance, penulis dan pemilik Mata Pena Group

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Celoteh Anak Negeri (5): Matinya Sila Ketiga Pancasila

20 September 2011   14:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:47 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Suatu senja di beranda rumah sederhana, seorang Kakek bersahaja duduk dengan tenang di kursi tua kesayangannya. Segelas kopi dan koran sore menemani aktifitasnya di sore itu. Dahinya yang sudah berkerut semakin mengerut saat membaca headline yang disajikan oleh koran yang saat ini dia bentangkan dihadapannya. Kerusuhan yang terjadi di Ambon belum juga reda, namun sudah disusul kembali dengan aksi anarkis yang diperlihatkan oleh anak SMA. "Mau jadi apa bangsa ini? Pemimpinnya bobrok, generasi mudanya juga seperti ini. Kalau dari sekarang aja udah anarkis, gimana nanti kedepannya?" gerutu sang Kakek saat melihat laporan berita yang menjelaskan kronologi kekerasan yang diperlihatkan murid SMA di kawasan Jakarta Selatan. Kakek menghela nafas dalam-dalam. Dipijatnya sesaat dahi keriputnya dengan tangan kanannya sebelum mengambil gelas kopi miliknya. "Kemana nilai-nilai persatuan di negeri ini?" tanya Kakek kepada koran yang sedang dibacanya. "Apakah mereka sudah mati?" lanjut Kakek menggerutu ditengah senja yang mulai mengelam, sebentar lagi matahari akan kembali keperaduannya. Kakek melipat korannya dan beranjak masuk kedalam rumahnya. Magrib sudah tiba dan si Kakek langsung menunaikan ibadahnya. Setelah menunaikan ibadah sholat maghrib, kakek duduk di ruang keluarga dan menyalakan televisi. Dia memilih stasiun tv yang menayangkan berita. Mata tua kakek nanar menatap berita di televisi yang sedang 'hot' membahas kasus tawuran dan pemukulan yang dilakukan oleh murid SMA. Raut wajahnya menjadi sedih melihat keadaan negerinya seperti ini. "Dimana persatuan yang dicita-citakan dulu?" lirih lelaki yang masih sempat merasakan masa-masa kemerdekaan itu. Disaat sang kakek sedang asik menonton acara berita, tetiba terdengar suara cucu sang kakek yang baru keluar dari dalam kamarnya. Bocah kecil itu menenteng buku pelajaran PKn dan sebuah buku tulis ditangannya. "Kakek, Andi ada pe-er nih," ucap bocah yang masih duduk di kelas 2 SD itu. Sang kakek tersenyum manis kepada cucunya itu, "Andi ada tugas apa? Sini kakek bantu," ucap si kakek walau dirinya sendiri tidak yakin masih bisa membantu cucunya ini belajar atau tidak. Sebab pengetahuan yang dimiliki sang kakek pun terbatas. "Ini Kek, aku disuruh nyebutin isi dari Pancasila," ucap si cucu seraya menyodorkan buku PKn miliknya kepada sang kakek. "Oh, ini... yaudah kamu tulis yah, nanti kakek yang sebutin isi pancasilanya" Si cucu sudah siap menulis, "Iya Kek, apa saja?" "Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia," ucap kakek menyebutkan isi dari Pancasila. Si cucu menuliskan semua yang diucapkan oleh sang kakek. Saat selesai menulis, si cucu baru menyadari ada yang kurang. "Lho? sila ketiganya mana, Kek?" "Sila ketiga sudah mati, Cucuku," ucap sang Kakek lirih dengan sedikit sesak di dadanya saat mengucapkan hal itu. Ya, sepertinya sila ketiga sudah mati, ucap kakek meyakinkan dirinya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun