Mohon tunggu...
Danis Pramestia
Danis Pramestia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Awal Perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Daya Beli Lemah, Tiket Konser Jutaan Tetap Ludes: Paradoks Ekonomi Indonesia

8 Januari 2025   21:05 Diperbarui: 8 Januari 2025   21:04 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb


Fenomena yang Mengundang Tanya
  Di tengah melemahnya daya beli masyarakat Indonesia, tiket konser dengan harga jutaan rupiah tetap habis terjual dalam hitungan menit. Fenomena ini memunculka paradoks: bagaimana masyarakat yang menghadapi kesulitan ekonomi masih mampu membeli hiburan mewah seperti ini?
Kesenangan di Tengah Kesulitan Ekonomi
  Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa daya beli masyarakat stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Inflasi mencapai 5,5% pada 2023, sementara pendapatan riil masyarakat mengalami penurunan. Meski demikian, tiket konser bertarif jutaan rupiah, seperti Coldplay atau BLACKPINK, tetap laris manis, bahkan untuk kategori VIP yang harganya mencapai puluhan juta rupiah.
Menurut Bhima Yudhistira, pengamat ekonomi, fenomena ini mencerminkan emotional spending atau pengeluaran berbasis emosi. "Di tengah tekanan ekonomi, masyarakat mencari pelarian, dan hiburan menjadi pilihan utama. Konser bukan hanya hiburan, tetapi pengalaman emosional yang bernilai," jelasnya. Fenomena ini terutama terlihat di kalangan generasi muda dan pekerja perkotaan dengan akses lebih besar terhadap hiburan mewah.
Media Sosial dan Pengaruh "FOMO"
  Media sosial menjadi salah satu pendorong utama fenomena ini. Unggahan pengalaman menonton konser artis internasional sering memicu perasaan FOMO (fear of missing out). Dr. Devie Rahmawati, sosiolog dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa membeli tiket konser tidak hanya soal hiburan, tetapi juga membangun identitas sosial.
Penelitian Nielsen Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 60% konsumen media sosial terdorong mengikuti tren karena pengaruh media sosial. Strategi pemasaran seperti penggunaan influencer dan promosi berbasis kelangkaan (contoh: countdown penjualan tiket) semakin mendorong pembelian impulsif.
Pilihan atau Prioritas?
  Fenomena ini juga memunculkan pertanyaan: dari mana dana untuk membeli tiket konser ini berasal? Banyak konsumen rela memangkas pengeluaran lain demi menabung untuk hiburan. Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa generasi muda lebih memilih pengalaman daripada barang, misalnya menunda pembelian barang baru demi konser.
Namun, tanpa perencanaan keuangan yang matang, pengeluaran impulsif seperti ini dapat berujung pada masalah finansial. Data Kementerian Keuangan mencatat peningkatan penggunaan fasilitas cicilan digital sebesar 20% dalam dua tahun terakhir, banyak di antaranya untuk konsumsi pribadi seperti tiket konser.
Dampak Positif pada Ekonomi Kreatif
  Di sisi lain, fenomena ini memberikan dampak positif pada industri hiburan dan ekonomi kreatif Indonesia. Konser internasional menciptakan lapangan kerja bagi pekerja kreatif lokal, mulai dari kru panggung hingga pemasok makanan. Pada 2022, sektor ekonomi kreatif menyumbang 7,8% terhadap PDB nasional.
Namun, dampak ini masih terkonsentrasi pada kota-kota besar dan kelas menengah atas, sehingga manfaatnya belum dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.

1.Ketimpangan Ekonomi
   Fenomena ini juga mencerminkan ketimpangan ekonomi. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah semakin sulit mengakses kebutuhan dasar, sementara kelompok tertentu mampu mengalokasikan dana besar untuk hiburan mewah.
Budaya konsumsi berbasis pengalaman ini memperlebar jurang sosial dan meningkatkan ketegangan antar kelompok ekonomi. Hal ini memperkuat ketimpangan antara mereka yang mampu dan tidak mampu.
2.Demografi dan Perilaku Konsumsi
   Perilaku konsumsi berbasis pengalaman lebih terlihat di kalangan generasi muda dan pekerja perkotaan. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, akses terhadap hiburan internasional lebih mudah dibandingkan daerah terpencil. Generasi muda juga cenderung memprioritaskan pengalaman dibandingkan kepemilikan barang, menjadikan konser sebagai bentuk investasi emosional.
3.Kesejahteraan Sosial dan Pengeluaran Hiburan
  Dari perspektif kesejahteraan sosial, pengeluaran berlebihan untuk hiburan dapat memperburuk masalah finansial individu dan keluarga. Hiburan seperti konser memang memberikan pelarian emosional, tetapi tanpa manajemen keuangan yang baik, ini berisiko menambah beban utang konsumtif.
4.Kebijakan untuk Menyeimbangkan Akses Hiburan
   Beberapa negara telah mengimplementasikan kebijakan untuk menciptakan akses hiburan yang lebih merata. Di Australia, pemerintah memberikan subsidi hiburan untuk kelompok berpenghasilan rendah. Di Jerman, insentif pajak diberikan kepada penyelenggara acara hiburan lokal agar harga tiket lebih terjangkau.
Indonesia dapat mempertimbangkan kebijakan serupa, misalnya melalui subsidi untuk hiburan lokal atau insentif bagi penyelenggara acara nasional. Selain itu, edukasi literasi keuangan dapat membantu masyarakat mengelola pengeluaran untuk hiburan secara lebih bijak.
5.  Literasi Keuangan Mahasiswa
  Salah satu hal yang sangat penting untuk dibahas adalah literasi keuangan di kalangan mahasiswa. Banyak dari mereka terjebak dalam pengeluaran impulsif tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya. Di Universitas Airlangga, ada potensi besar untuk meningkatkan program pendidikan mengenai pengelolaan keuangan yang dapat membantu mahasiswa membuat keputusan yang lebih bijak. Program semacam ini penting mengingat peningkatan penggunaan fasilitas cicilan digital yang semakin tinggi, yang seringkali digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi non-esensial.
6.  Kesempatan dalam Ekonomi Kreatif untuk Mahasiswa
  Fenomena ini juga membuka peluang bagi mahasiswa yang tertarik pada ekonomi kreatif. Di tengah pertumbuhan sektor ini, Universitas Airlangga dapat memperkenalkan lebih banyak kursus atau seminar yang berfokus pada keterampilan yang dibutuhkan untuk memasuki industri kreatif, mulai dari event management hingga pemasaran digital. Mahasiswa yang memiliki minat di bidang ini dapat melihatnya sebagai peluang untuk meraih karier di industri yang sedang berkembang pesat.

Penutup
  Fenomena konser dengan tiket jutaan rupiah yang tetap ludes di tengah daya beli lemah mencerminkan paradoks ekonomi dan sosial di Indonesia. Ini menunjukkan pergeseran prioritas konsumsi masyarakat, terutama generasi muda, dari kebutuhan dasar ke pengalaman emosional.
Pemerintah dan industri perlu menciptakan kebijakan yang lebih inklusif untuk menyeimbangkan akses hiburan dan mendukung pertumbuhan ekonomi kreatif. Dengan manajemen yang tepat, hiburan tidak hanya menjadi simbol ketimpangan, tetapi juga sarana meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara merata.
 
Referensi
1.Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Laporan Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Beli Masyarakat.
2.Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2023). Sektor Ekonomi Kreatif dan Kontribusinya terhadap PDB.
3.Nielsen Indonesia. (2023). Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumen.
4.Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Statistik Penggunaan Fasilitas Cicilan Digital di Indonesia.
5.Pusat Penelitian Ekonomi. (2022). Pengeluaran untuk Hiburan dan Ketimpangan Sosial di Indonesia.
6.Pemerintah Australia. (2021). Subsidi Hiburan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun