Apa urusannya, perusahaan melaksanakan CSR (Corporate Social Responsibility)?.Toh, perusahaan sudah membayar bermacam-macam pajak atau retribusi ?. Bukankah perusahaan sudahmemberi untuk berbagai sumbangan resmi maupun tidak resmi ?. Bahkan perusahaan mengeluarkan dana untuk beragam “pungutan”dari oknum-oknum aparat negara.Untuk apalagi melakukan CSR ?. Jangan-jangan, CSRhanya merupakan cara lain “memaksa” perusahaan untuk mengeluarkan biaya yang tidak ada kaitannya bagi keuntungan perusahaan ?. Memang pihak luar, mau membantu jika perusahaanmengalami kesulitan keuangan atau non-keuangan?. Perusahaan punya hak menikmati keuntungan yang diperoleh atas usaha-usahannya. Jika ada masyarakat yang belum sejahtera, itu bukan urusan perusahaan !.
Fenomena cara pandang seperti di atas, masih jamak dan berkeliaran pada beberapa perusahaan besar khususnya, yang enggan melaksanakan CSR. Diam-diam maupun terbuka dengan argumentasiitu, masih banyakdipegangoleh perusahaan,bahkan dengan seribu alasan lainnya karena memang perusahaan berpotensi memiliki karakter rakus (greedy). Pendek kata perusahaan demikian dengan cara pandang, bahwa melaksanakan CSRtidak menguntungkan. Benar kah demikian?.Mari kita telusuri dengan sudutpandang lain yang justru membawa keuntungan bagi perusahaan.
CSR yang menurut terjemahan bebas di Indonesia berartiTanggungjawab Sosial Perusahaan (TSP). Lahirnya TSP beranjak dari pandangan atas tafsir kenyataan bahwa perusahaan, dimana pun,tentunya menghendaki hubungan positif secara berkelanjutan dengan masyarakat, baik sebagai perorangan maupun kelompok tertentu dengan beragam kepentingan dan saling membutuhkan (Michael Hopkins, 2011).Saling menjaga hubungan baiktersebut, pada gilirannya bagi perusahaan berdampak memperoleh citra positif, kesan positif, saran, kritik membangun, penghargaan, kedekatan, keuntungan bahkan memperoleh perlindungan sosial dari masyarakat. Apabila hal-hal positif tersebut hilang, maka dapat memunculkan beragam bentuk sikap negatif masyarakat terhadap perusahaan. Mengabaikan upaya hubungan positif, sama halnya perusahaan membangun “permusuhan” dengan masyarakat. Sehingga bisa muncul , misalnya boikot pembelian produk, protes konsumen, kebencian, anti berhubungan dengan perusahaan, penolakan lokasi operasional perusahaan bahkan penghacuran aset dan anti terhadap simbol-simbolmaupun nilai-nilai perusahaan. Ujung-ujungnya konflik laten maupun konflik terbuka perusahaan dengan masyarakat tidak bisa dihindari. Oleh karen itu membangun hubungan baikdengan masyarakat, perusahaan tidak bergantung dengan pemerintah.
Lebih dari pemikiran di atas, tentunya perusahaan bagi yang sudah memiliki banyak aset dan keuntungan, sepantasnya memiliki kepedulian mengatasi bencana kemanusian dan kepekaan keagamaan. Misalnya pada kelompok masyarakat fakir miskin, difabel, penderita musibah, anak yatim piatu, janda miskin dan kelompok masyarakat tertinggal lainnya yang rentan secara sosial ekonomi. Kepedulian dan kepekaan akan lebih baik lagi, tidak hanya terbatas kedermawanan namun memiliki misi memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah dan tertinggal.
TSP juga berajak dari tafsir atas kenyataan bahwa ada beberapa perusahaan,khususnya yang melakukan eksplorasi dan eksplotasi Sumber Daya Alam (SDA). Bidang usaha ini, kecil maupun besar membuat beragam dampak negatif,baik secara sosial maupun lingkungan hidup. Mengatasi dampak negatif tersebut, tidak bisa seluruhnya diserahkan kepada pemerintah. Apalagi jika pemerintahannya yangamat birokratis, korup, rakus dan lemah kepeduliannya. Dalam konteks ini, perusahaan seharusnya juga memiliki kepekaan dan kepedulian yang lebih lincah, tidak birokratis, lebih terukur, terencana, profesionaldan juga memberdayakan yang berkelanjutan untuk mengatasi beragam dampak negatif sosial dan berlawanan dengan penyelamatan lingkungan hidup. Kepedulian dan memberdayakan masyarakat bagi perusahaan semakin relevan mengingat usaha di bidang SDA, tidak dapat diperbaharui. Sehingga, suatu saat perusahaan angkat kaki dari lokasinya sementara masyarakat setempat masih tetap berada di sekitar lokasi tersebut.
Ketidak-pedulian perusahaan atasdampak negatif pada lingkungan hidup, baik untuk input, prosesdan output produksi, dalam standar bisnis internasional dapat memunculkan beragam sanksi kelembagaan. Misalnya, larangan penjualan saham perusahaan oleh badan otoritas jual beli saham, larangan eksport dan import pada suatu negara oleh pemerintahnya, larangan transaksi perbankan oleh asosiasi perbankan internasional, kampanyeanti membeli produk atau anti kerjasama oleh organisasi-organisasiswadaya masyarakat yang berlevel internasionaldan beragam sanksi lainnya oleh lembaga yang berkompeten. Oleh karena itu, badan sertifikasi internasional mengeluarkan ISO 2600 sebagai standar dalam pelaksanaan CSR dan bahkan jauh sebelumnya, 1987 sudah ada pedoman pelaporan berkelanjutan yang relevan untuk CSR, yang disebut Global Reporting Initiative (GRI).
Tafsir atas kenyataan sebagai pijakan CSR demikian, memberikan pesan menjaga hubungan positif dengan masyarakat melalui kepedulian dan memberdayakan terhadap masyarakat maupun berorientasi penyelamatan lingkungan hidup, merupakan suatu kebutuhan (need) yang melebihi sekedar kewajiban untuk melaksanakan CSR. Bangunan kebutuhan CSR oleh perusahaan bahwa pelaksanaan CSR merupakan bagian keberlanjutan perusahaan, termasuk mempertahankan dan penambahan keuntungan. Pelaksanaan CSR menempati posisi sama halnya melakukan proses pasokan bahan baku untuk produksi dan menghasilkan produk untuk komersialisasi.
Dengan demikian, pelaksanaan CSR bukan sekedar menjalankan peraturan dari negara dan pemerintah. Bahkan peraturan pemerintah dan negara yang saat inibersentuhan dengan CSR, belum memadai untuk berorientasi pemberdayaanmasyarakat. Padahal semakin mampu perusahaan memberdayakan masyarakat melalui pelaksanaanCSR, maka semakin besar perusahaan memperoleh reputasi, citra positif, penghargaan, pengakuan positifdan perlindungan sosial sebagai bagian penting melakukan proses produksi serta komersialisasi.
Kiranya sebuah perusahaan saat ini, tidak bisa lagi sepenuhnya dipahami dalam isolasi hak private. Ada hak sosial dari masyarakat yang merupakan kebutuhan perusahaan untuk memenuhinya. Jadi dengan demikian sudah tidak saatnya lagi perusahaan dalam pelaksanaan CSR bersikap : Emang Gua Pikirin (EGP).
-----------
(*Dosen di Yogyakarta, Mhs S3 CSR di Universitas Sebelas Maret & Konsultan CD ). asmartadani@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H