Pesta demokrasi lima tahunan kali ini tidak luput dari perayaan pemuda di daerah kecil ini, iya Pemalang. Kendati kabupaten ini kecil dan sering dilupakan oleh pemimpin, namun masyarakat didalamnya tidak pernah melupakan calon pemimpin yang katanya akan membesarkan negara dan daerah kami.
Pesta demokrasi bukan kami rayakan dengan menikmati barang selembar dua lembar uang dari caleg yang bakal habis sebelum pemilu selesai, akan tetapi kami rayakan dengan saling menyapa pikiran-pikiran dari banyak kepala yang dipenuhi kebingungan akan kekalutan permasalahan pemilu dari tahun ke tahun yang masih sama saja.
Demikianlah perayaan yang terhormat oleh pemuda Pemalang dengan melangsungkan diskusi rutin yang digagas oleh LIKADARMA (Lingkar Kajian Kedaerahan Pemalang) via daring dengan tajuk Pemalang dan Pemilu; Kiat Memilih di Tengah Perang Informasi Gorengan, Selasa 30 Januari 2024 pukul 19.30 WIB.
Diskursus dibuka dengan menampilkan keresahan perihal money politic yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat. Agaknya politik uang sangat sukar dihapus dari bumi Indonesia. Caleg sebagai kontestan dalam pemilu pun apatis untuk berupaya menjaga nilai politik dengan memberikan edukasi kepada masyarakat, sebatas menyampaikan visi-misi pun enggan, hanya bermodalkan uang namun nihil gagasan. Merendahkan masyarakat dengan memanfaatkan keterpurukan ekonominya dengan sehelai rupiah yang sepintas mewah, sungguh keterlaluan.
Transaksi politik juga tak luput dari pilihan favorit para caleg demi nafsu ambisinya. Lagi-lagi mereka bertindak bukan atas dasar moral call dalam diri, melainkan berdasar pada opportunity yang mengubur dalam-dalam prinsip etika pemilu. Disaat seperti ini dimanakah KPU sebagai penyelenggara, tiadakah pendidikan politik bagi pemilih. Dan kemanakah Bawaslu yang mengawasi jalannya pemilu agar sesuai aturan yang berlaku. Tak perlu mencari kemana, sudah pasti mereka sedang duduk nyaman di kursi empuknya.
Pendidikan politik amatlah penting bagi masyarakat, apalagi bagi pemuda sebagai vouter yang menempati urutan terbanyak yakni mencapai 55%, begitu kata salah satu pegiat diskusi LIKADARMA. Tetapi baik KPU maupun partai politik di Pemalang khususnya belum menjalankannya, padahal sudah menjadi kewajibannya. Apakah mereka enggan masyarakat menjadi cerdas sehingga menolak berbagai macam politisasi yang dilakukan caleg, atau bagaimana, padahal mudah bagi mereka membuat regulasi yang dapat menumbuhkan budaya perpolitikan baru yang sehat. Alhasil forum diskusi kecil diberbagai sudut desa menjadi pengharapan untuk saling mencerdaskan satu sama lainnya.
Setelah perbincangan diatas dirasa cukup, diskursus kembali dibawa ke topik utama. Di tengah informasi yang sangat masif dan sudah di goreng (diedit sedemikian rupa untuk mempengaruhi/framming), bagaimana caranya agar pemilih tidak bingung atau terombang ambing dan memilih secara sadar tidak dengan asal-asalan? Sang sopir kembali membawa rombongan ke jalan utamanya.
Di era digital sekarang, hujan informasi seputar pemilu yang beredar di media sosial, berdampak pada kebingungan pemilih untuk menentukan pilihannya, terkhusus pada Paslon capres dan cawapres. Hal ini tak mengherankan, sebab banyak gambar atau vidio yang diedarkan oleh konten kreator bayaran bertendensi saling menyudutkan, merendahkan ataupun menjatuhkan satu dengan yang lainnya, seakan-akan mereka adalah kebenaran itu sendiri. Tak lekang dibenak, caci maki dan lapor melapor antar Paslon pun dilakukan demi mengamankan elektabilitasnya.
Maka satu hal sebagai alternatif solusi yakni dengan menentukan lebih dulu kepentingan kita, baik kepentingan tersebut condong untuk diri sendiri atau masyarakat luas. Misalkan seorang petani, ia dapat memilih pemimpin yang dapat menjamin ketersediaan pupuk murah, jika ada diantara Paslon maka pilihlah dia. Misalkan lagi, kita menginginkan pemimpin yang serius memberantas korupsi, maka dapat dilihat gagasannya tentang korupsi, bandingkan dengan yang lain, jika sudah ada yang lebih menarik maka tetapkan pilihannya.
Cara demikian cukup praktis bagi kita yang masih bingung, setidaknya terdapat alasan dan sadar untuk memilih dari pada asal mencoblos. Lantas bagaimana dengan caleg yang jumlahnya ratusan ribu? Di era digital sekarang ada platform pintar yang mengakomodir caleg beserta visi-misinya untuk memudahkan rakyat mengakses dan mengenali gagasan para calon pemimpin.Â
Namun masih sangat banyak caleg tidak mengisi ruang visi-misi untuk di tawarkan kepada rakyat, padahal kita tidak apatis untuk mengenali gagasan mereka. Maka tidak heran jika banyak masyarakat yang memilih golput. Ini tentu menjadi catatan merah lagi dalam pemilu yang mesti dibenahi.