Mengakhiri kemalangan
Sambil mengenang salah satu kata Widji Thukul, "bila rakyat tidak lagi berani mengeluh, itu artinya sudah gawat". Pemalang, keluh atau tidak saya pandang selalu diam entah karena apatis karena sudah tahu seluk-beluk kelakukan pemerintah atau tidak ingin tahu menahu mengenai itu. Tidak ada lagi jalan mengakhiri kemalangan selain dari diri kita sendiri. Tidak ada universitas, gramedia, bahkan bioskop yang dinilai merupakan sebuah keberadaan kota maju, mau tidak mau harus menyusuri kota tetangga mengais ilmu ataupun rejeki kemudian tuangkan pada Pemalang. Menuangkan tidak semudah teko kepada gelasnya, melainkan menambal terlebih dahulu gelas yang bocor begitulah keadaan Pemalang.
Potensinya, pemuda akan ada masanya sebagai pembaharu Pemalang, demi mengakhiri kemalangan yang lama dijalankan, mengakhiri diam yang disudutkan oleh kekuasaan, kemudian mengakhiri kebodohan melalui tersedianya sumber daya pendidikan. Lagi dan lagi 'sadar' akan keberadaan kita sebagai orang Pemalang sudah seyogyanya dijalankan, dimulai dari diri sendiri sebelum memerintah atau memberikan asumsi kepada orang lain.
Lemahnya kritik terhadap pemerintah menjadikan kewenangan individual bebas lancar dijalankan. Demonstrasi ataupun unjuk rasa sekedar sampai batas doa, belum terealisasikan kungkungan melepaskan derita, kiranya begitu, kurangnya kesadaran menjrumus menuju kurangnya masa. Tulisan-tulisan kritik semoga tetap mengepakan sayapnya. Dunia tidak lagi sekedar milik para pejabat, justru seharusnya pejabat berada di bawah kekuasaan masyarakat, omongan para pejabat yang sekiranya salah haruslah dibantah.
Tulisan omong kosong ini anggap saja sebagai pembuka memupuk kesadaran. Beberapa tongkrongan berdiskusi sering kerap terkungkung oleh keadaan "bagaimana harus bertindak?" independensi mengutarakan akalnya, melalui tulisan kritik mungkin akan sampai ke singgasana parlementer. Rakyat bebas berasumsi, bebas pula bertindak ketika kejanggalan dalam pemerintahan tidak bisa dibungkam secara diam. Hal ini, demi menghilangkan Pemalang yang malang, kekurangan dalam hal refrensi bahkan sumber daya potensi. Nrimo ing pandum bukan maksud sebagai diam ketika melihat pemerintahan bengis, diam hanya akan melahirkan kesedihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H