Mohon tunggu...
Likadarma
Likadarma Mohon Tunggu... Penulis - Lingkar Kajian Kedaerahan Pemalang

Gerbang penggalian nilai-nilai kedaerahan untuk kemajuan pengetahuan Pemalang dan kePemalangan yang tulen.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Sampai Kapan Kemalangan Mendampingi Pemalang?

19 Januari 2023   12:13 Diperbarui: 19 Januari 2023   12:25 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kabupaten mungil yang dipepet antara kota Tegal dan Pekalongan, di tengahnya ada Pemalang di situlah saya dilahirkan dan dibesarkan. Begitu kiranya saya menjelaskan kepada orang-orang baru saya kenal ketika berada di perantauan dan ditanyakan mengenai rumahnya. Dalihnya, mereka tidak mengetahui Pemalang, hanya sekilas dari berita mengenai kasus korupsi, berbagai pembunuhan, bahkan kemiskinan yang merajalela. Kegeraman serontak datang dari hati terdalam yang tertahan oleh lidah yang diam menghambat suara "memang begitulah Pemalang, sudah lumrah dan marak diperbincangkan, hanya diperbincangkan bukan dipertindakan".

Lantas, bagaimana Pemalang bisa menuju kepada Pemalang yang tulen? Apa tugas kita sebagai warga Pemalang? Suatu tindakan bejat jika diam menganga sebagai simbol perjuangan. Benar kata bung Karno, perjuangan kita akan lebih sulit karena melawan bangsa kita sendiri, melawan orang yang kita kenali, bahkan melawan orang yang kita coblos saat pemilihan. 

Namun, suatu penghianatan besar jika kita tetap membiarkan suara-suara bajingan yang meluap melebihi kita. Akan sampai mana malangnya Pemalang? Malangnya tidak akan terasa bagi orang yang diam, permainan politik terlalu tulen dimainkan bagi keluarga, teman sebaya ataupun teman bermain waktu kecilnya, hingga nepotisme dimainkanlah di sini. Kegeraman muncul begitu dahsyatnya, sehingga menggairahkan saya membuka laptop dan menuliskan luapan derita.

Dari atasan atau penyelenggara, baik pemerintah maupun non pemerintah mempermainkan Pemalang sebagai tempat usaha yang memiliki ladang uang berlipat ganda. Derita kegeraman mungkin datang bagi para aktivis yang telah mengetahui seluk beluk ketidak nyamanan kabar perihal koruptor, nepotisme, atau ketidaknyamanan lainnya yang mengganjal dan mungkin mengendap di akal. 

Perihal nepotisme yang lancar dijalankan dari pemerintah tingkat daerah, masih 'demi' kehidupan yang layak bagi sanak saudaranya, bukan berdasarkan kepentingan menyeluruh dalam artian masyarakat secara penuh. Malangnya Pemalang sudah terlaksana santun dari pemegang kekuasaan. Terlalu santun hingga yang seharusnya peradaban Pemalang sudah menjulang tinggi di era teknologi, masih menggunjingkan otaknya pada sekujur jalanan yang rusak menghambat jalanan pejabat. 

Kemudian, kita pandang dari sudut desa, anggaran yang jumlahnya sekian juta, ke mana perginya? Masyarakat biasa, tidak memiliki akses menuju informasi demikian bagaimana bisa mengerti? Kejanggalan-kejanggalan yang memberontak alur pikiran, tidak usah penulis sebutkan nominal, ataupun tindakan pemerintah kepada masyarakatnya. Kesedihan bahkan geram bagi para aktivis jika menggali terlalu dalam.

Mayoritas hidup di Pemalang

Beberapa orang muda telah saya temui, diskusi mengenai Pemalang yang seharusnya, tidak diguncang kemiskinan, pemerintah tidak sewenang-wenangnya. Namun, cerita gemetar malahan mengadu nasib antar mulut, sudah menciri khaskan Pemalang, kota yang tidak dikenal dan kota yang begini-begitu saja, jika ingin sukses ya keluarlah dari kota ini. Kebosanan sudah melekat mendarah daging bagi para menghuninya, lihatlah mayoritas merantau, mereka kebingungan akan makan apa jika terus menerus hidup di sini? UMR rendah, pabrik melimpah namun lowongan sekedar bagi orang berijazah tinggi. Mendaftar kerja sana-sini susah, kecuali dengan adanya orang dalam yang telah menyatu dengan tulang sebagai azas diterimanya kerja, jika harus berdagang, melihat orang dagang kelontongan saja sepi pembeli, mau tidak mau keluar kota adalah jalan pintasnya. Jika harus menjadi petani, maraknya pupuk dengan harga tinggi sudah lama dikeluhkan masyarakat, namun belum ada tindakan yang men-sudahkan keluhan itu, pemerintah sekedar mendokumentasi hasil panennya, bukan pada perjuangan yang dilantunkan melalui keringan panasnya di bawah terik matahari.

Pancasila yang dijadikan pedoman hanyalah hiasan dinding yang merekat pada kuil pemerintahan. Rakyat yang seharusnya diberi kehidupan layak, dianggap sebagai pengemis yang harus dikasihani. 

Sejauh mana wakil rakyat mengemban amanahnya, sekedar dicoblos kemudian menikmati kursi pemerintahan. Jabatan dinilai sebagai invetasi masa depan tanpa rasa malu menginginkan 'perpanjang jabatan' dengan kemungkinan alasan belum balik modal. Padahal, sebagian masyrakat merasa geram atas sewenang-wenangannya itu. 

Hidup di Pemalang pasti sering kali mengendapkan suara-suara kritik mengenai ketidakjelasan, lagi-lagi suara itu harus terdiam menenggelakan amarahnya, karena kekuasaan tertinggi lebih dikira berhak mengenai suaranya sendiri atau bahkan suara rakyat hanyalah disebut nyanyian derita yang didengar oleh parlemen di gedung sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun