Dalam masa jabatannya, Presiden Joko Widodo beberapa kali mengeluarkan kebijakan untuk menarik investor. Yang saya ingat adalah ketika Jokowi menjanjikan akan membuat terobosan baru di bidang hukum yaitu omnibus law alias UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja disebut bisa mendatangkan investor dan membuka lapangan kerja baru. Akan tetapi, dalam praktiknya UU Cipta Kerja menjadi kontroversi terutama di kalangan buruh.
UU Cipta Kerja sendiri diproyeksikan agar perizinan jadi lebih mudah. Perizinan sendiri dinilai menghambat investor asing untuk berinvestasi di dalam negeri. Untuk itu, UU Cipta Kerja diharapkan bisa menjadi solusi dari masalah tersebut.
Akan tetapi, meski diberi kemudahan dari sisi hukum, rupanya Indonesia belum menjadi daya tarik bagi investor. Hal ini bisa dilihat dari nilai investasi Apple di kawasan ASEAN.
Dilansir dari kompas.com nilai investasi Apple di Indonesia rendah yaitu 1,6 triliun rupiah. Sebelumnya, Apple telah memiliki infrastruktur pendidikan di Banten, Surabaya, dan Kepulauan Riau. Rencananya, Apple akan membangun kembali di Bali.
Selain membangun infrastruktur pendidikan, pemerintah juga terus berupaya agar Apple mau mendirikan pabrik dan toko resmi (Apple Store) di Indonesia. Akan tetapi, pemerintah sepertinya harus bersabar menunggu kepastian tersebut.
Di sisi lain, nilai investasi Apple di Vietnam kalah jauh dari Indonesia. Apple menggelontorkan dana hingga Rp. 255 triliun dan menciptakan 200.000 lapangan kerja baru.
Besarnya angka itu tentu tak lepas dari Vietnam yang merupakan pusat manufaktur utama perusahaan. Total di Vietnam sendiri sudah ada 21 pemasok.
Selain gagal merayu Apple untuk mendirikan perusahaan, Indonesia juga gagal meyakinkan Apple untuk membuka Apple Store. Apple justru membuka toko resmi di Malaysia yang dibuka pada 22 Juni 2024 lalu.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, tentu Indonesia kalah. Padahal Indonesia memiliki potensi pasar yang cukup menjanjikan. Tapi, mengapa investor enggan datang?