Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ridwan Kamil, Guru Honorer, dan Persoalan Kata Maneh yang Berujung Pemecatan

16 Maret 2023   13:28 Diperbarui: 16 Maret 2023   13:33 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komentar Sabil di unggahan Ridwan Kamil. | Foto: KOMPAS.COM

Misalnya, kata makan dalam bahasa Sunda memiliki banyak kosa kata. Tapi, kata makan untuk diri sendiri, orang lain (termasuk sesama, junior, dan orang tua) itu berbeda. 

Makan untuk diri sendiri "neda", untuk orang lain "tuang", dan untuk sesama biasanya "dahar." Nah, dalam tingkatan itu maka bahasa Sunda itu ada tiga, yakni lemes (sopan), sedeng (sedang), dan kasar. 

Lalu, di mana letak kata maneh tadi? Apakah masuk dalam kosa kata sopan, sedang, atau kasar? Di daerah saya, khususnya di Bandung, kata tersebut cukup kasar apalagi jika dilontarkan kepada orang yang lebih tua. 

Tapi, berbeda lagi jika kata tersebut dipakai untuk sesama. Maka, pada posisi ini kata "maneh" menjadi bahasa loma alias sedang. Jadi, penggunaan kata maneh tergantung dengan siapa kita bicara. 

Meski begitu, faktanya di beberapa daerah selain Bandung, kata maneh justru halus. Bahkan di beberapa daerah ada yang memakai kata "sia" (kamu) yang mana kata itu sangat kasar di daerah Sunda priangan. 

Tapi, untuk daerah pesisir seperti Banten, kata tersebut biasa alias sedang atau loma. Jadi, kata "maneh" yang disebut kasar tadi bagi saya relatif. Apalagi, guru tersebut berasal dari Cirebon yang mana bahasa Sundanya tidak sama dengan orang Bandung. 

Dengan kata lain, meski sebagian orang menyebut jika kata "maneh" itu disebut tidak sopan, tapi ingat di beberapa daerah tertentu itu hal biasa. Selain itu, jika hanya si guru saja yang disalahkan terkait kata "maneh", bagaimana dengan RK yang memakai kata yang sama? 

Bukankah pejabat juga harus memberi contoh pada rakyatnya? Inilah yang terjadi alias netizen memakai standar ganda. 

Meski begitu, saya sendiri sempat mencari tahu mengapa dialek Sunda bisa berbeda dan memiliki tingkatan seperti itu. Ternyata, hal tersebut merupakab warisan masa kolonialisme.

Selain itu, daerah Sunda Priangan juga terpengaruh Mataram yang mana dari sisi bahasa memakai tingkatan seperti di atas. Mirisnya lagi, saat itu kolonialisme menetapkan bahwa bahasa Sunda priangan adalah patokannya alias resmi. 

Sampai akhirnya, pengkastaan bahasa terjadi sampai saat ini. Mirisnya lagi, yang menentukan itu adalah orang asing bukan orang Sunda sendiri. 

Reaktif 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun